“PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN”
Putusan
(No. 757/PID.B/2013/PN.Bks)
SKRIPSI
Diajukan
Guna Memenuhi Persyaratan
Untuk
Menyelesaikan Program Strata Satu (1) Ilmu Hukum
Pada
Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular
OLEH
ANGELUS ANDI MANURUNG
No. Pokok : 20103124330050005
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MPU TANTULAR
JAKARTA
2014
LEMBAR
PERSETUJUAN SKRISI
Nama :
ANGELUS ANDI MANURUNG
NIM :
20103124330050005
Jurusan : Hukum
Pidana
Judul Skripsi : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA
PENCABULAN”
Jakarta,
2014
Mengetahui Menyetujui
Ketua
Program Studi Ilmu Hukum, Pembimbing Materi
(I),
Mandus Marpaung, SH, MH Hotman
Sitorus, SH, MH
Pembimbing
Tenis (II)
P.R Manalu SH, MH
LEMBAR
PENGESAHAN SKRIPSI
Nama : Angelus Andi
Manurung
No. Pokok : 2010312433005005
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan
: Hukum Pidana
Judul
Skripsi : PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN (
Analisis Putusan Nomor. 757/PID.B/2013/PN.Bks)
TIM
PENGUJI
1. Penguji
I
2. Penguji II
3. Penguji
III
Diketahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mpu Tantular,
Dr.
Purbandari, SH, M.HUM, M.KN
LEMBAR
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi yang
telah saya susun sebagau salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari
Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular seluruhnya merupakan hasil karya saya
sendiri.
Adapun bagian – bagian tertentu dalam penulisan
Skripsi yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya
secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari, ditemukan seluruh atau
sebagian Skripsi ini bukan hasil karya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian
– bagian tertentu saya bersedia menerima saksi pencabutan gelar akademik yang
saya sandang dan sanksi – sanski lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Jakarta,
Angelus
Andi Manurung
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat dan Rahmatnya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN”
Penulisan skripsi ini merupakan salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana strata satu pada Fakultas Hukum Universits
Mpu Tantular Jakarta.
Penulis dalam menulis skripsi telah
berusaha dengan segala kemampuan yang ada menyusun dan menyelesaikan penulisan
skripsi ini, akan tetapi karena terbatasnya kemampuan, baik waktu maupun
pengalaman, dengan demikian penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga penulis dapat mengerti dan mengetahui kekurangan-kekurangan
dalam penulisan skripsi ini.
Dalam penyelesaian penulisan skripsi
ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
mendukung maupun membantu, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1.
Tuhan YESUS yang telah memberi umur yang
panjang dan keteguhan dalam mengerjakan skripsi ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Ratlan Pardede, M.M
selaku Rektor Universitas Mpu Tantular Jakarta
3.
Ibu Dr. Purbandari. S.H.,M.HUM., M.KN
selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular Jakarta,
4.
Bapak Hotman Sitorus, S.H., M.H. selaku
Dosen Pembimbing I (Materi) yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5.
Bapak P.R Manalu S.H., M.H. selaku Dosen
Pembimbing II (Teknisi) yang dengan penuh mengarahkan dan memberikan ilmu serta
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga
terselesaikan dengan baik.
6.
Untuk kedua Orang Tuaku Sahat Manurung
dan Tiomina br. Sitorus yang telah melimpahkan kasih saying, pengorbanan,
dukungan secara moril maupun materiil kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan study di Fakultas Hukum Unuversitas Mpu Tantular, Jakarta.
7.
Untuk Abangku Janter Manurung dan
Kakak-kakakku Hetdi Manurung dan Elnida Manurung yang telah memberikan Doa dan
Semangat kepada Penulis.
8.
Kepada Bapa Udaku Juprianus Manurung,
yang telah membimbing dan membina selama perkuliahan dan selama penulisan
skripsi yang telah banyak memberi materi kepada penulis dan sudah bisa menjadi
Inspirasi buatku.
9.
Teman-teman Seperjuangan Fakultas Hukum
2010, Parsaoran Nadapdap, Gerry Detriady, Agus Sidabutar, Lily Silaban, Nur
Handayani untuk kebersamaannya selama empat tahun telah kita habiskan untuk
berbagi pengalaman, bercengkrama dalam suka dan duka serta untuk Martha E.
Sirait saya mengaturkan Terima Kasih atas perhatian dan kepedulian nya selama
kuliah.
10.
Perpustakaan Badan Pembinaan Hukum
Nasional yang telah mengijinkan penulis untuk pengumpulan dan pencarian
data-data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Kepada semua pihak yanag telah
membantu, mendukung secara moril maupun materiil, penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang sedalam-dalamnya dan berdoa Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan berkatnya.
Akhir kata penulis mengharapkan
semoga penulis ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pihak yang
membaca dan memerlukan.
Jakarta, 2014
Angelus Andi Manurung
ABSTRAK
A.
ANGELUS ANDI MANURUNG (NIM : 20103124330050005)
B.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah
Umur Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Putusan Nomor
757/PID.B/2013/PN.Bks)
C.
70 Halaman
D.
Kata Kunci : Pencabulan, Tindak Pidana
Anak Dibawah Umur
E.
Tujuan penyusunan skripsi ini adalah
untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban
tindak pidana pencabulan serta mengetahui bagaimana pembuktian dan penerapan
hukum terhadap anak dibawah umur dan sejauh mana proses peradilan dapat
memberikan rasa keadilan terhadap korban pencabulan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Penelitian
Normatif. Hasil penelitian skripsi ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Dibawah Umur Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan sesuai dengan putusan
Nomor. 757/PID.B/2013/PN.Bks
Terdakwa
PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG memang benar telah mempunyai niat
jahat dalam melakukan Tindak Pidana Pencabulan terhadap korbannya yang masih
dibawah umur, sehingga hakim dalam pertimbangan telah menjatuhkan hukuman
Pidana Penjara selama 4 (empat) tahun dan dikurangi selama terdakwa dalam
tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan, dan denda masing-masing sebesar
Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) Bulan kurungan
telah melakukan tindak pidana “Perlindungan Anak” dengan memperhatikan pasal 82
UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan
perundangan lain yang bersangkutan.
F.
18 buku (1981-2008) dan 7 Per
Undang-undangan (1979-2008)
Hotman Sitorus, S.H., MH ( )
P.R Manalu, S.H., H.M
(
)
DAFTAR
INI
HALAMAN
JUDUL
HALAMAN
PERSETUJUAN
HALAMAN
PNGESAHAN
HALAMAN
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
ABSTRAK
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Perumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
Kegunaan Penelitian
E.
Keranga Konseptual
F.
Metode Penelitian
G.
Sistematika Penelitian
BAB II TINJAUAN
UMUM TENTANG ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
A.
Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
B.
Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan
C.
Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI
KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN.
A.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana
Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur.
B.
Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan
terhadap Anak Di Bawah umur Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Yang
Berlaku Di Indonesia.
C.
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur.
1. Langkah-langkah
Pencegahan
2. Langkah-langkah
penanggulangan Jika Terjadi Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah
Umur.
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Analisis
Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencabulan.
Kasu
B. Analisis
Putusan No. 757/PID.B/2013/PN.BKS
1. Kasus
Posisi
2. Dakwaan
dan Tuntutan Jaksa
3. Putusan
4. Analisis
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B.
SARAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap tindak pidana kriminal disamping ada
pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban dapat berupa pelaku kriminal, maupun
korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain.
Korban tindak pidana merupakan pihak yang menderita dalam suatu peristiwa
pidana. Begitu juga dengan korban pencabulan yang menderita akibat tindakan
pidana yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu kiranya diketahui sejauh mana
korban telah memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.
Perlindungan korban tindak pidana dapat
diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan hukum atas penderitaan
atau kerugian pihak yang telah menjadi korban tindak pidana.[1]
Segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat
menjadi korban itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk
meringankan penderitaan tersebut dapat dilakukan dengan cara menegurangi
penderitaan fisik dan penderitaan mental korban.
Korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohanian sebagai akibat dari tindakan nya sendiri maupun tindakan
dari pihaka lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan.[2] Korban
dapat berupa perorangan maupun kelompok, korban dapat juga berupa suatu badan
hukum.ketika suatu peristiwa terjadi, aturan hukum seringkali memfokuskan diri
untuk menghukum pelaku kejahatan sehingga seringkali korban dari kejahatan
tersebut terabaikan. Padahal korban juga patut untuk diperhatikan karna pada
dasarnya korban merupakan pihak yang cukup dirugikan dalam suatu tindak pidana.
Dampak kejahatan menimbulkan korban dan
kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri, maupun
oleh pihak lain secara tidak langsung.[3]
Yang terakhir ini bisa tergantung pada sanak saudara ataupun orang-orang lain
yang menggantungkan hidupnya langsung.
Begitu pula dengan kejahatan pencabulan yang
dinilai dapat merendahkan derajat kaum wanita serta merusak harkat dan
martabatnya. Padahal wanita aadalah ibu dari umat manusia, karna dari Rahim
wanitalah anak manusia dilahirkan.
Di KUHP Indonesia, kejahatan dalam
bentuk pencabulan ini diatur dalam pasal 289 KUHP. Pasal ini diatur dalam BUKU
II BAB XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun pasal 289 KUHP
menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena
salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara
selama-lamanya Sembilan tahun.
Persepsi
terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar Bahasa Indonesia
memuat artinya “Keji, kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”
Anak
yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkontak dengan sistem
peradilan pidana karena:
1.
Disangka, dinyatakan atau dinyatakan
terbukti bersalah melanggar hukum.
2.
Telah menjadi korban akibat perbuatan
pelanggaran yang dilakukan orang/kelompok terhadapnya, atau
3.
Telah melihat, mendengar, merasakan atau
mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
Hakikat kejahatan seharusnya dilihat
sebgai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada
pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam bentuk pemulihan
kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak saja
kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik.
Untuk memperhatikan kepentingan
korban pencabulan dalam penjatuhan pidana, bukan sekedar untuk memenuhi hak
korban, bukan pula sekedar pertimbangan akal karna logika mengatakan demikian,
tetapi jauh lebih dari itu adalah juga kepentingan korban tersebut.
Upaya perlindungan hukum terhadap
korban pencabulan menyangkut kebijakan atau politik hukum pidana yang ingin
diterapkan , yaitu bagaimana membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan
pidna yang baik.[4]
Pada akhirnya upaya perlindungan dan penanggulangan korban darin kejahatan
dapat tercapai. Pengertian kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun politik kriminal.[5]
Menurut Soedarto, politik hukum adalah
usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada saat itu,[6]
serta kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[7]
Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dan yang dapat
mengekspresikan apa-apa yang terkandung dalam masyarakat demi tercapainya suatu
perindungan hukum terhadap korban perkosaan tidak terlepas dari faktor
hukumnya.
Dalam hukum fositif, undang-undang
yang mengatur masalah perlindungan saksi dan korban adalah Undang-undang Nomor
13 tentang Perlindungan terhadap Korban saksi dan korban. Namun, undang-undang
tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk
perlindungan korban sehingga harus dicari beberapa aturan lain dalam hukum
positif yang medukung adanya bentuk perlindungan korban secara kongkrit.
Diantaranya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Hak Asasi Manusia serta
beberapa aturan lainnya.
Dalam beberapa aturan yang dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam bentuk perlindungan korban
diantaranya restitusi, kompensasi, konseling dan rehabilitasi.
Upaya perlindungan korban sebenarnya
sangat penting. Karena di samping dapat mengurangi penderitaan korban atas
tindak pidana yang dialaminya, juga dapat mencegah terjadinya korban yang berkelanjutan,
sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat kriminalitas.
Secara
filosofis bahwa anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus
perjuangan, seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, oleh
karena itu kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi kepentingan yang harus
diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah atau yang berkonflik dalam
hukum. Anak sebagai generasi muda merupakan upaya menyiapkan dan mewujudkan
masa depan bangsa dan Negara, namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian
dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang
menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat. Dan perbuatan sebatas
kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus pada perbuatan kriminal yang
membutuhkan penanganan secara serius khususnya perlindungan hak-hak anak dalam
proses peradilan pidana.
Dalam rangka kehidupan
bermasyarakat setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan timbal
balik dan kepentingan yang sangat terkait antara yang satu dengan yang lain nya
yang dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya segi agama, social budaya,
politik dan Termasuk pulasegi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan
seringkali menimbulkn konflik kepentingan yang pada akhirnya melahirkan apa
yang dinamakan tindak pidana. Untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut
, maka dibuat suatu aturan atau norma hukum yang wajib ditaati. Terhadap orang
yang melanggar aturan ukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan
diambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedangkan bagi seseorang ang
telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi sanski pidana berupa hukuman badan,
baik penjara, kurungan atau denda.
Sebagaimana
undang-undang pada umumnya, Undang-undang perlindungan anak diperlukan guna
memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak
anak, mengingat :
1.
Anak sebagai amanat dan karunia Tuhan
yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya.
2.
Anak adalah penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peran strategis, dan
3.
mempunyai ciri dan sifat khusus untuk
diharapkan dapat dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara
dimasa depan
4.
Anak perlu mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik,
mental, maupun social dan mempunyai akhlak yang mulia.
5.
Pada kenyataannya masih terdapat banyak
anak yang:
a. Belum
terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi
b. Masih
hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar,
apalagi memadai
Selain itu undang-undang Perlindungan
Anak (UUPA) juga diperlukan untuk menegaskan adanya kewajiban bagi Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan anak, mengingat:
1. Kewajiban
memberikan perlindungan anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban
bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara khusus disamping yang
sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam berbagai peraturan
Perundang-undangan yang lain, agar dapat menjamin pelaksanaanya secara
konprehensif dan tepat penanganan serta sesame yang harus dilakukan oleh
Negara, pemerintah, masyarakat keluarga dan orangtua anak.
2. Perlu
adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi
anak dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu disamping dilindungi
hak-haknya, agar tidak menjadi salah asuh, salah arah maka perlu ditunjukkan
juga kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh anak.
Seluruh
Negara eropa memiliki perarutan perundang-undangan tentang juvenile justice
yang secara umum mendasarkan pada pendekatan kesejahteraan (welfare approach).
Dengan pendekatan ini, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan dari
proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana serta segala tindakan yang akan
diambil oleh Negara dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anak tersebut
sedapat mungkin mengedepankan kepentingan
terbaik bagi anak.
Terdapat
lima macam pedekatan yang bisa digunakan dalam menangani pelaku pelanggaran
hukum usia anak, yaitu:
1.
Pendekatan yang murni yang mengedepankan
kesejahteraan anak
2.
Pendekataan kesejahteraan dengan
intervensi hukum
3.
Pendekatan dengan menggunakan atau
berpatokan pada sistem peradilan semata
4.
Pendekatan edukatif dalam pemberian
hukuman dan
5.
Pendekatan penghukuman yang murni
bersifat retributive
Adanya
kelima bentuk pendekatan tersebut, tidak terlepas dari pertentangan antara dua
pendekatan dominan dalam menangani juvenile delinquency, yaitu pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan keadilan, dan juga mencerminkan perubahan atau
dinamika pemikiran masyarakat dalam memberikan respon terhadap pelaku
pelanggaran usia anak. Jika pendekatan kesejahteraan mempresentasikan keinginan
pengadilan untuk mendiagnosa masalah utama yang melibatkan anak-anak sebagai
pelaku pelanggaran dan memperlakukan anak tersebut seperti mengobati anak,
pendekatan keadilan mempresentasikan perhatian tradisional dari hukum yang
bertujuan menghukum pelaku pelanggaran menujut derajat atau keseriusan atas
akibat yang ditimbulkannya.
Pembangunan
dibidang hukum merupakan masalah mendesak yang perlu ditindaklanjuti, mengingat
itu konfleknya permasalahan-permasalahan hukum termasuk maraknya
kejahatan/kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan jaman,
ilmu pengetahuan dan Teknologi. Pemerintah Indonesia melalui badan dan atau
instansi-instansi beserta aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan serta lembaga Pemasyarakatan) diharapkam mampu melaksanakan upaya
penegakan ukum yang nyata dan dapat dipertangung jawabkan sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku agar tatanan kehidupan masyarakat dan berbangsa
yang aman dan tertib dapat dicapai semaksimal mungkin. Upaya bukanlah upaya hukum
sederhana dan cepat seperti yang dibayangkan, kana didalamnya terkait begitu
banyak factor yang empengaruhinya.
Masalah
pokok terkait dengan penegakan hukum sebenarnya terletak pada factor-faktor
yang mempengaruhinya . Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut :
1.
Faktor hukumnya sendiri
2.
Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak
yang mau membentuk maupun yang menerapkan hukum
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5.
Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup
Minimnya maupun media elektronik banyak pemberitaan
mengenai kesusilaan yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya bersetubuh
dengan dia
Menurut undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Undang-undang memberikan
perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana
dalam lingkungan peradilan yang terdapat dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan Saksi dan Korban
berasaskan pada pasal 3:
1.
Penghargaan atas harkat dan martabat
manusia;
2.
Rasa aman;
3.
Keadilan;
4.
Tidak diskriminatif; dan
5.
Kepastian hukum.
Konvensi
hak anak juga memberikan jaminan perlindungan (Khusus) terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum.hal ini terkandung dalam 37 mengenai penyiksaaan dan
perampasan kebebasan.secara ringkas menyangut “Larangan terhadap penyiksaan,
perlakuan atau hukuman yang yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan
penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan. Prinsip-prinsip penanganan
yang tepat, pemisahan dari tahanan dewasa, hubungan dengan keluarga dan akses
terhadap bantuan hukum serta bantuan lainnya,”
Berdasarkan hal tersebut diatas, bila
dikaitkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang telah penulis
uraikan sebelumnya, maka anak-anak yang yang berhadapan dengan hukum baik
sebagau korban maupun sebagai pelaku wajib dilindungi hak-haknya oleh
pemerintahan dan tidak boleh ada diskriminasi. Seorang anak yang menjadi korban
tindak pidana berhak untuk mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara
fisik maupn secara mental spiritual dan sosial, selain itu privasinya baik
untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga
sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab pemerintah dan perkara yang
dihadapinya, begitu pula sebaliknya terhadap seorang anak yang menjadi pelaku
tindak pidana.
Terhadap anak yang melakukan tindak
pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak yang perlu
ditangani dengan seksama melalui sistem peradilan pidana anak. Sistem yang
dimaksud adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang
selalu saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa
asas [8], yang terdiri dari:
a.
Substansi Hukum (Legal Subtance)
berkenaan dengan isi/atau materi hukum yang mengatur tentang peradilan anak.
b.
Struktur Hukum (Legal Structure)
menyangkut badan/lembaga yang menangani peradilan anak, yang terdiri dari :
Badan Peradilan,Kejaksaan,Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, Penasehat Hukum,
Pembimbing Kemasyarakatan, Lembaga Sosial Masyarakat, dll.
c.
Budaya Hukum (Legal Culture) berkaitan
dengan resepsi dan aspirasi masyarakat tentang hukum yang sangat ditentukan
oleh tata nilai, keyakinan, atau sistem sosial, politik dan ekonomi yang hidup
dalam masyarakat.
Sistem
peradilan anak itu sendiri sebenarnya sudah baik, namun baikburuknya sebuah
sistem tetaplah terpulang karena kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk
mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada
anak yang berhadapan dengan hukum (the best interest of the Children). Salah
satu instusi pemerintahan yang relative banyak berhadapan langsung dengan
anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau instusi pengadilan, hal ini karena
kasus-kasus pidana yang dihadapi anak muaranya akan diselesaikan di Pemgadilan.
Pada saat penyelesaian kasus dipengadilan inilah anak yang menjadi korban
tindak pidana dan pelakunya berinteraksi dengan hakim baik secara langsung
maupuntidak langsung. Selama proses peradilan tersebut hakim di Pengadilan
mempunyai kewajiban untuk melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana dan
anak sebagai pelaku tindak pidana.
Dalam
undang-undang Pengadilan Anak, telah ditentukan pembedaan perlakuan didalam
hukum acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara
anak pada siding Pengadilan Anak. Pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan
oleh KUHP, yang penjatuhan pidananya ditentukan paling lama setengah dari
maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati
dan pidana penjara seumur hidup tidak dberlakukan terhadap anak.
Terkait
dengan penjatuhan hukuman, bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat
dijatuhkan pidana pokok (Pidana pokok, pidana kurungan, pidana denda, atau
pidana pengawasan) dan pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu atau
pembayaran gantu rugi (Pasal 23, UUPA) dan tindakan yang dapat dijatuhkan
adalah:
a.
Mengembalikan kepada orangtua, wali,
orangtua asuh,
b.
Menyerahkan kepada Negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, dan
c.
Menyerahkan kepada Departemen Sosial,
atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan, yang bergerak dibidang Pendidikan,
Pembinaan, dan Latihan Kerja (Pasal 24).
Didalam kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya telah diatur ketentuan mengenai sanski pidana
terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dengan kekerasan, namun pada
kenyataannya kejahatan ini masih saja terjadi di banyak tempat dan tersembunyi
dalam kehidupan masyarakat. Tidak jarang kasus tersebut memang lolos dari
jeratan hukum yang berlaku. Bahkan ada yang berhenti sampai pada tingkat
pemeriksaan oleh kepolisian maupun kejaksaan sehingga tidak sampai di proses
pengadilan. Untuk mewujudkan keberhasilan penegakan hukum dalam memberatas
maraknya kasus pencabulan dengan kekerasan sangat diperlukan pemantapan
koordinasi kerjasama yang serius baik dari aparat kepolisian, aparat kejaksaan
maupun hakim-hakim di pengadilan. Putusan hakim memeriksa kasus pencabulan
dengan kekerasan diberbagai pengadilan berfariasi. Bahkan ada kasus pencabulan
dengan kekerasan yang hanya di vonis main-main dengan hukuman penjara enam
bulan. Hal ini dapat dibenarkan karena dalam batas-batas maksimum dan minimum
(satu hari sampai duabelas tahun) tersebut hakim bebas untuk bergerak untuk
mendapatkan pidana yang tepat.
Dalam menyelenggarakan system
penyelenggara hukum pidana (Criminal Justice sistem) maka pidana menempati
suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena putusan didalam pemidanaan akan
mempunyai konsekuensi yang luas, lebih-lebih kalo putusan pidana tersebut
dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “Kontroversial” sebab
kebenaran dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung darimana kita
memandangnya.
Persoalan pidana ini sangat
kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik yuridis maupun
sosiologis. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan
orang pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (Natuurlijke
personen)
Perbuatan
orang tersebut adalah titik penghubung dan dasar pemberian pidana. Dipidananya
seorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, namun untuk adanya
pemidanaan diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah.
Pada
dasarnya seseorang telah melakukan suatu tindak pidana dapat dikenakan sanski
apabila unsur-untur tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Unsur-unsur tindak pidana harus dipenuhi antara lain adalah suatu perbuatan
memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mampu bertanggung jawab. Tindak
pidana pencabulan dengan kekerasan diancam dengan pasal 289 KUHP memutuskan
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan kesusilaan,
dengan pidana paling lama dua belas tahun” berdasarkan latar belakang masalah
tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA
PENCABULAN (ANALISIS No.757/PID.B/2013/PN.Bks.)
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar
belakang penelitian tersebut maka masalahnya dapat di identifikasikan sebagai
berikut :
1. Bagaimana
perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan tindak pidana pencabulan?
2. Bagaimana
pembuktian dan penerapan hukum terhadap tindak pidana pencabulan yang dilakukan
oleh anak?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Untuk
mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagi korban tindak pidana kejahatan
tindak pidana pencabulan.
b. Untuk
mengetahui pembuktian dan penerapan hukum terhadap korban korban tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh anak.n
/
D.
Manfaat Penelitian
a. Bagi
Peneliti
Guna memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan program studi Sarjana Strata I (S-1) Ilmu Hukum pada Universitas
Mpu Tantular sekaligus untuk menambah dan memperdalam ilmu pengetahuan Hukum
Pidana khususnya tentang pertimbangan hakim yang memuat sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana pencabulan.
b. Bagi
Akademik
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan
di bidang ilmu hukum pidana khususnya mengenai putusan hakim yang memutus
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana pencabulan sebagai kajian
hukum pidana, serta diharapkan pula penelitian ini dapat menjadi
wacana/referensi sebagi sumbangan pemikiran bagi para civitas akademika
Universitas Mpu Tantular
E.
Kerangka Konseptual
Tindak
pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur merupakan pelanggaran atas
kesusilaan dan norma agama dimana Tindak pidana pencabulan dengan kekerasan
merupakan salah satu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu keamanan dan
ketertiban hidup masyarakat. Untuk memberantas kejahatan ini pemerintah
Indonesia melakukan upaya penegakan hukum melalui tahap-tahap pemeriksaan
perkara yang dilakukan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pemeriksaan
perkara tindak pidana kesusilaan dengan kekerasan pada tingkat pertama yang
dilakukan kepolisian (Penyidik) setelah Berita Acara Pemeriksaan pelaku tindak
pidana kesusilaan dengan kekerasan tersebut lengkap kemudian dilimpahkan kepada
kejaksaan (Selaku penuntut umum yang berwenang mengajukan dakwaan dan
penuntutan) untuk selanjutnya di proses di pengadilan.
Menurut
Moelyanto
“Perbuatan
pidana” sebagimana yang dijelaskan dalam bukunya Azaz-azaz hukum pidana
menyamakan antara perbuatan pidana dengan istilah inggris “Criminal Act”
Penyamaan ini akibat, atau dengan lain perkataan akibat yang dilarang oleh
hukum. Kedua, karena juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang
dinamakan liabity atau responsibility.
Pelanggaran pidana adalah
istilah yang digunakan oleh H. Tirto Amidjaja dalam bukunya yang berjudul
“Pokok pokok hukum pidana “
Menurut Van Bemmelem
Kejahatan adalah tiap
kelakuan yang bersifat tindak susila yang merugikan yang menimbulkan begitu
banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu
berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk
nestafa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut
Paul Separovic
menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan seseorag untuk menjadi korban.
1.
Factor personal, termasuk keadaan
biologis ( Umur, Jenis Kelamin dan Keadaan Mental )
2.
Factor social, misalnya imigran,
minoritas, pekerjaan, perilaku jahat, dan hubungan antar pribadi
3.
Factor situasional misalnya situasi
Konflik, tempat dan waktu
Menurut Moch. Anwar
Memaksa bersetubuh
dengan dia yakni dengan menggunakan paksaan terhadap seseorang bersetubuh
dengan dia diluar perkawinan merupakan perbuatan menurut pasal 286 KUHP.
- Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan digunakan beberapa metode yang digunakan untuk
mendapatkan hasil yang subyektif mungkin. Untuk mendapatkan hasil penelitian
tersebut diperlukan informasi yang akurat yang mendukung. Sehubungan degan hak
tersebut, metode yng digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Metode
Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan melakukan inventarisasi hukum
positif.
Metode penelitian ini akan menitik beratkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pedoman pembahasan masalah,
juga dikaitkan dengan masalah yang ada dalam praktek dan aspek-aspek social
yang berpengaruh dimana ketentuan-ketentuan hukumnya merupakan ide dasar dari
perlindungan terhadap korban tindak pidna pencabulan, serta melihat upaya-upaya
yang dapat dilakukan oleh korban tindak pidana pencabulan untuk mendapatkan
perlindungan hukum.
Secara dedukatif penelitian ini dimulai dengan
menganalisis data sekunder dibidang hukum dapat dibedakan sebagi berikut.
a. Bahan
Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat, misalnya
Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, Undang-undang 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan
yang dikaji.
b. Bahan
Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan-bahan hukum primer yang dapat menunjang penulis skripsi ini dapat
membantu melengkapi bahan hukum primer, misalnya tulisan ara ahli dan hasil
para ilmuwan yang berbentuk makalah atau karya ilmiah.
c. Bahan
Hukum Tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya Majalah, Koran, Internet
dan Media-media lainnya.
2. Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan
berdasarkan peraturan Perundang-undangan.
3. Tahap
Penelitian
Adapun tahap-tahap penelitian dilakukan dengan
menghimpun data sekunder yang berupa:
a. Bahan
Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, misalnya KUHP, KUHAP, UU
NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta peraturan perundang-undangan
lainnya.
b. Bahan
Sekunder adalah tulisan para ahli dan hasil karya para ilmuwan yang berbentuk makalah atau karya tulis dan,
c. Bahan
Tersier yaitu Majalah, Koran dan Media-media lainnya yang relavan dengan
permalahan yang diteliti.
4. Teknik
Pengumpulan Data
Sesuai dengan tahap-tahap penelitian di atas, teknik
pengumpulan data dilakukan dengan penelitian ke perpustakaan untuk mendapatkan
data sekunder dan studi dokumen baik melalui media cetak maupun media
elektronik.
5. Metode
Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif berarti
bawha data dianalisis berdasarkan peraturan-peraturan yang relavan sebagi hukum
positif. Sedangkan kualitatif yaitu merupakan analisis data tanpa mempergunakan
rumus dan angka.
6. Studi
Lapangan (Field Research)
Yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung pada
objek penelitian dalamhal ini adalah Pengadilan Negri Bekasi, gunanya adalah
untuk mendapatkan data dan keterangan secara langsung yaitu dengan menganalisa
Berkas Perkara secara langsung serta mencatat data-data yang berhubungan dengan
penelitian skripsi ini
- Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan penelitian
skripsi ini disusun sistematika sebagai berikut :
BAB I:
Penulis Mengemukakan Tentang Latar Belakang, Rumusan Permasalah, Tujuan
Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka
Teori dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan
Umum Tentang Anak Dibawah Umur Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan .
BAB III : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Tindak Pidana Pencabulan
BAB IV : Analisis
Hasil Penelitian.
BAB V :
PENUTUP
Dalam bab ini merupakan
kesimpulan dan saran yang merupakan ringkasan dari Penelitian.
BAB II
A. Tinjauan
Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
1. Pengertian
Anak Dibawah Umur
Anak
adalah amanah dan karunia dari Tuhan yang maha esa yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya[9].
Anak merupakan makhluk sosial ini sama dengan orang dewasa. Anak tidak dapat
tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, Karena anak lahir dengan
segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai
taraf kemanusiaan yang normal.
Anak harus kita jaga dan lindungi,
dikarenakan :
a. Anak
mempunyai suatu sifat dan ciri khusus
b. Anak
adalah sebagau potensi tumbuh kembang bangsa dimasa depan.
c. Anak
tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dai orang lain.
Anak merupakan tunas sumber potensi dan
generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang
nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan lindungi dari perbuatan buruk
ataupun sebagai korban daripada perbuatan buruk seseorang.
2. Kategori
Batasan Anak Dibawah Umur
Untuk
mengetahui apakah seseorang itu termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada
batasan yang mengaturnya, dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan
di Indonesia telah mengatur tentang usia anak yang dikategorikan sebagai anak
yang antara lain sebagai berikut.
a. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam kitab
undang-undang hukum pidana yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal
287 ayat (1) KUHP yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah
seseorang yang belum mencapai 15 tahun.
b. Kitab
Undang-undang hukum Perdata (KUHPer)
Didalam undang-undang
Hukum Perdata yang dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang yang belum
dewasa seperti yang tertuang pada pasal 330 KUHPerdata.
c. Undang-undang
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak.
Didalam undang-undang
ini pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum
mencapai batas usia 21 (Dua Puluh Satu) tahun dan belum pernah kawin[10].
Dalam pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan sebagai anak
adalah dibawah usia dua pulus satu tahun dan belum pernah kawin.
d. Undang-undang
No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Di dalam undang-undang
ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 1 ayat (1) yang
menyebutkan “anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan
Belas tahun) dan belum pernah kawin[11].
Dari penjelasan pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikatakan sebagai
anak adalah seseorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapa belas
tahun.
e. Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-undang
ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1 ayat 1 (5) yang
menyebutkan “anak sebagai manusia yang berusia dibawah 18 tahun (Delapan Belas)
Tahun dn belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demo kepentingan nya[12].
Menurut pasal ini yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam kandungan
sampai usia delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan[13].
Menurut pasal tersebut
diatas bahwa yang dikategorikan sebagai anak ialah seorang yang berusia dibawah
delapan belas tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan
sebagai anak.
f. Undang-undang
No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada pasal 1 ayat (4)
yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan Belas)
tahun[14].
Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini adalah belum
berusia delapan belas tahun.
Peraturan perundang-undangan di
Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimanakah dapat dikatakan
sebagai anak, akan tetapi setiap perbedaan pemahaman tersebut, tergantung
situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang dipersoalkan nanti.
B. Tinjauan
Umum Mengenai Pencabulan
1. Pengertian
Pencabulan
Di dalam Pasal 289 KUHP
yang dimaksud dengan pencabulan adalah Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena
salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara
selama-lamanya Sembilan tahun
hal pengertian
pencabulan, para pendapat ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan
berbeda-beda seperti yang dikemukakan Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan
adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku
melanggar” dari pendapat tersebut, berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan
suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu
seksualnya oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang dimana
perbuatan tersebut tidak bemoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R.
Sughandhi dalam asumsi mengatakan tentang percabulan ialah:
”Seorang pria yang memaksa pada
seorang wanita bukan istrinya untuk
persetubuhan dengan nya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan
kemaluan pria telah masuk kedalam lubang seorang wanita yang kemudian
mengeluarkan air man[15]i.”
Dari pendapat R.
Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang melakukan
upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang
wanita yang bukan istrinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan
keluarnya air mani seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan
persetubuhan akan tetapi ada unsur ain yaitu unsur keluarnya air mani, yang
artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai,
sehingga apabila seseorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat
dikategorikan sebagi pencabulan.
Asumsi yang tidak sependapat dalam hal
mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungan perlu atau tidaknya unsur
mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan
Djisman Samosir yang berpendapat “Pencabulan adalah perbuatan seseorang yang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan
persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya[16]”
Dari pendapat tersebut, ini membuktikan
bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan dengan cara dibunuh,
dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan suatu bagian untuk mempermudah
dilakukan nya suatu pencabulan. Menurut Arif Gosita, pencabulan dapat
dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara laim sebagai berikut :
a. Korban
pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Sedangkan ada juga
seorang laki-laki yang dicabuli oleh seorang wanita.
b. Korban
harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada
persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
c. Pencabulan
diluar ikatan pernikahan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataannya
ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang
menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini tidak dapat digolongkan
sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan trlebih dahulu oleh
pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan[17].
Dari perumusan diatas menunjukkan bahwa
posisi perempuan ditempatkan sebagai obyek dari suatu kekerasan seksual (pencabulan)
karena perempuan identik dengan lemah, dan laki-laki sebagai pelaku dikenal
dengan kekuatan nya sangat kuat dan yang dapat melakukan pemaksaan persetubuhan
dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau
ancaman kekerasan. Fungsi dari kekerasan tersebut dalam hubungan nya dengan
tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kekerasan
yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan
korban. Ada casual verband antara kekerasan dan ketidakberdayaan korban.
Contohnya kekerasan pada pencabulan yang digunakan sebagai cara dari memaksa
bersetubuh juga pada pemerasan (Pasal 368) yang mengakibatkan korban tidak
berdaya, dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa
menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.
b. Kekerasan
yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara
melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada pasal 211 atau 212[18].
Sedangkan ancaman kekerasan mempunyai
aspek yang penting dalam pencabulan yang anatara lain sebagai berikut.
a. Aspek
obyekif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan
persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk
dilakukan nya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna.
b. Menyebabkan
orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa
takut, rasa cemas (aspek subyektif yang di objektifkan).
Aspek subyektif ialah
timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika
kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan
dia, maka kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini
sangat penting dalam ancaan kekerasan sebab jika kepercayaan itu tidak timbul
pada diri korban, tidak mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu
perbuatan terhadap dirinya[19].
Kekerasan dan ancaman kekerasan
tersebut mencerminkan kekuatan fisik laki-laki sebagai pelaku merpakan suatu
faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan sebagai korban, sehingga
laki-laki menampilkan kehebatan yang bercorak refresif yang menempatkan
perempuan sebagai korban nya. Karakteristik utama dalam pencabulan ialah “bahwa
pencabulan bukan terutama terutama
bukan ekspresi agrsivitas (baca: kekerasan) dari seksualitas (the agressive expression of sexuality)
akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu agresivitas (sexual expression of aggression)[20]
Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pengertian pencabulan tertuang
pada pasal 289 KUHP menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan kekerasan
atau ancaman Kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Dalam pasal tersebut dapat
ditarik kesimpulan antara lain :
a. Korban
pencabulan tidak harus seorang wanita, tanpa kualifikasi umur yang signifikan.
Seharusnya wanita dapat dibedakan yang antara lain sebgaai berikut[21] :
1. Wanita
belum dewasa yang masih perawan.
2. Wanita
dewasa yang masih perawan.
3. Wanita
yang sudah tidak perawan lagi.
4. Wanita
yang belum bersuami.
b. Korban
mengalami pemaksaan pencabulan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan perlakuan
pelaku.
Dalam
perkembangan nya yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal
ini muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk
pemaksaan pencabulan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang
menjadi target dalam pencabulan akan tetapi anus dan dubur (pembuangan kotoran
manusia) yang dapat menjadi target penccabulan yang antara lain sebagai berikut
:
a. Perbuatan
nya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke dalam vagina) tetapi
juga memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut.
b. Memasukkan
suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita.
c. Caranya
tidak hanya dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun diluar kehendak/persetujuan
korban.
d. Obyeknya
tidak hanya wanita yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan
dibawah umur juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (iluar
kehendaknya) tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuan nya
dibawah ancaman karena kekeliruan/ kesesatan/ penipuan atau karna dibawah umur[22].
Pelaku pencabulan terhadap anak-anak
dibawah umur yang dapat juga disebut dengan child molester, dapat digolongkan
ke dalam (5) kategori, yaitu :
a. Immature
: para pelaku melakukan pencabuan disebabkan oleh ketidakmampuan
mengidentifikasi diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa.
b. Frustrated
: para pelaku melakukan kejahatan nya (pencabulan) sebagai reaksi melawan
frustasi seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi
mereka beralih kepada anak-anak mereka sendiri (incest) ketika merasa tidak
seimbang dengan istrinya.
c. Sociofathic
: para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatan nya dengan orang yang sama sekali
asing baginya, suatu tindakan yang kecendrungan agresif yang terkadang muncul.
d. Pathological
: para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol mdorongan seksual sebagai
hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum
waktunya (premature senile deterioration)
e. Michellaneous
: yang tidak termasuk semua kategori diatas[23].
2
Unsur-unsur Pencabulan.
Secara umum unsur-unsur
pencabulan terdiri daari dua unsur yaitu unsur bersifat obyektif dan bersifat
subyekti seperti yang tercantum dalam pasal 289.
1. Pasal
289 KUHP yang berbunyi:
Barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan
perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan
tahun
Dari bunyi
pasal di atas, dapat dirincikan unsur-unsur sebagai berikut
a. Unsur-unsur obyektif
1. Perbuatan Pencabulan
Unsur-unsur
pencabulan merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana pencabulan
terhadap anak dibawah umur, hala ini disebabkan apabila perbuatan pencabulan
tidak terjadi maka perbuatan tersebut tersebut belumlah dapat dikatakan telah
terjadi perbuatan percabulan. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh S. R.
Sianturi bahwa untuk diterapkan pasal 289 adalah apabila kemaluan silaki-laki
hanya sekedar menempel diatas kemaluan perempuan tidak dapat dipandang sebagai
persetubuhan tetapi pencabulan.
2. Perbuatannya yaitu orang dewasa
3. Objeknya yaitu orang sesamajenis
kelamin
b. Unsur Subyektif
Sedangkan
unsur subyektifnya ada satu, yaitu yang diketahuinya belum dewasa atau patut
diduganya belum dewasa.
Sama seperti persetubuhan, untuk
kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau persetubuhan terjadi
antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi
diantara dua orang yang sesama kelamin baik itu laki-laki sama laki-lakin
(Sodomi atayu Homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (Lesbian)
Walaupun terjadi antara dua orang
yang sesama kelamin, tetapi yang menjadi subyek hukum kejahatan dan dibebani
tanggungjawab pidana adalah siapa yang diantara dua orang yang telah dewasa,
sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Pembebasan tanggungjawab pada pihak
orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini
adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari
perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan hukum.
Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencabulan
Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dari pasal 289 sampai
pasal 296, dimana dikategorikan sebagai berikut:
a.
Perbuatan cabul dengan Kekerasan
atau ancaman kekerasan
Hal
ini dirumuskan pada pasal 289 KUHP sebagai berikut:
“Barang
siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena
salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara
selama-lamanya Sembilan tahun”.
Disini tindak pidananya adalah
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang dimaksud dengan
perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau
perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Sebagai
tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan
perbuatan cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk
menunjukan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang sangat
tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman pidananya”.
Ancaman
pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP adalah sama yakni Sembilan tahun
penjara.
Perbuatan cabul sebagaimana
dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin
misalnnya:
-
Seorang laki-laki dengan paksa
menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya.
-
Seorang laki-laki merabai badan
seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus dan menciuminya. Pelaku
melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.
b.
Perbuatan cabul dengan orang pingsan
Hal ini dimuat pada pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya
sebagai berikut:
“Di
hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.
barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak
berdaya.”
Kata
“pingsan” di sinonimkan dengan
kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat”, sedang kata “tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah.
Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si
pelaku mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau
tidak sadar.
“Pasal ini sama dengan pasal 290 KUHP
Menurut
pasal ini melakukan perbuatan cabul itu
adalah dengan seseorang yang diketahuinya orang itu pingsan atau tidak berdaya.
c.
Perbuatan cabul dengan orang yang
belum 15 tahun
Hal ini di muat pada pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya
sebagai berikut:
“Dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun:
1.
Barang siapa melakukan perbuatan cabuldenagn
seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2.
Barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa
umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.”
Pasal ini
merupakan perlindungan terhadap anak / remaja. Perlu diperhatikan bahwa pada
pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian,
meskipun dilakukan terhadap anak / remaja pria, misalnya oleh homoseks atau
yang disebut sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diterapkan.
Tetapi jika sejenis maka hal itu di atur pasal 292.
Kata
“diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsure kesalahan (dolus atau
culpa) terhadap umur yakni pelaku dapat menduga bahwa umur anak / remaja
tersebut belum lima belas tahun.
b.
Membujuk orang yang belum 15 tahun
untuk dicabuli
Hal ini di atur pada pasal 290 ayat (3) yang rumusannya
sebagai berikut:
“Dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.
Barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak
berdaya.
2.
Barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya diduganya, bahwa
umumnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas, yang bersngkutan
belum waktunya untuk dikawin.
3.
Barang siapa yang membujuk
seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur orang itu belum
cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan padanya
perbuatan cabul.
Hal
ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya kecuali “pelaku”. Pelaku pada pasal 290 ayat (3)
bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”.
c. Perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa yang sejenis
Hal ini diatur pada pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
“orang
dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang belum dewasa, yang
sejenis kelamin dengan dia, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum
dewasa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”
Pasal ini melindungi orang yang belum
dewasa dari orang yang dikenal sebagai “homoseks”
atau “Lesbian”. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia di muat arti homoseksual” dan “lesbian”:
“Dalam
keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual),
sedang “lesbian”: wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya; wanita
homoseks.”
Pada umumnya pengertian sehari-hari,
homoseks dimaksudkan bagi pria sedang lesbian dimaksudkan bagi wanita. Kurang
jelas kenapa terjadi hal ini karena dari arti sebenarnya “homoseksual” adalah
perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan karena untuk
wanita disebut lesbian maka untuk pria disebut homo seksual.
Bagi orang dibawah umur, perlu
dilindungi dari orang dewasa yang homoseks / lesbian, karena sangat berbahaya
bagi perkembangannya.
d. Dengan pemberian menggerakkan orang
belum dewasa berbuat cabul
Hal ini diatur pada pasal 293 KUHP yang rumusannya sebagai
berikut:
(1)
Barang siapa dengan hadiah atau
perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah memakai kekuasaan yang
timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja mengajak orang
dibawah umur yang tidak bercacat kelakuanya, yang diketahuinya atau patut dapat
disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau
membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun.
(2)
Penuntutan tidak dilakukan melainkan
atas pengaduan orang yang terhadapnya kejahatan itu dilakukan.
(3)
Tenggang tersebut dalam pasal 74
bagi pengaduan ini lamanya masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan.”
Tindak
pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan
berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya
atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk
tindak pidana mennggerakkan seseorang itu adalah member hadiah atau berjanji
akan memberi uang atau barang dan dengan jalan demikian pelaku lalu
menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan demikian
menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau digerakkan itu haruslah belum
dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus di duganya bahwa orang
itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau yang
diketahuinya belum dewasa atau yang patut harus diduga bahwa ia belum dewasa
tersebut adalah berkelakuan baik.”
e. Perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan.
Hal ini di atur pada pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai
berikut:
(1) “barang
siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
anak dibawah pengawasannya, yang belum dewasa atau dengan orang yang belum
dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya
atau pun dengan bujangnya atau
bawahannya yang belum dewasa, di ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.”
(2) Di ancam
dengan pidana yang sama:
1. Pejabat
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya atau orang yang
dipercayakan atau diserahkan padanya.
2. Pengurus,
dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat bekerja
kepunyaan Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, lembaga
social, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan kedalamnya.
Pada kasus
“pelecehan seksual” yang selalu
diributkan terutama antara atasan dengan bawahan pada hakikatnya dilindungi
dengan pasal ini. Namun perlu disadari bahwa pembuktiannya bukan hal yang tidak
rumit. Misalnya sorang direktur, pada suatu hari karena melihat pakaian
sekretarisnya mencolok, akhirnya menimbulkan keinginan baginya untuk
mengelus-elus pantat dan payudaranya. Karena tidak ada saksi lain atau alat
bukti lain, bukan mustahil direktur tersebut menjadikan sekretaris tersebut
sebagai tersangka.
Tindak pidana yang disebutkan dalam
pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan, yang telah
disebut juga dalam pasal-pasal sebelumnya.
Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan
dilakukan dengan mereka yang dikategorikan khusus yaitu yang dipercayakan
padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Demikian juga jika yang melakukan
perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negri dan dilakukan dengan orang yang dalam pekerjaannya adalah
bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk
dijaga.
Menurut pasal ini maka
perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu tindak pidana biasa.”
f. Memudahkan anak dibawah umur untuk
berbuat cabul
Hal ini di atur pada pasal 295 KUHP
yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Di hukum:
1. Dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraanya, anak
yang dibawah pengawasannya semuanya dibawah umur yang diserahkan padanya supaya
dipeliharanya, dididik atau dijaganya, atau bujangnya atau orang bawahannya,
keduanya dibawah umur yakni semua orang tersebut itu melakukan perbuatan cabul
dengan orang lain;
2. Dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun barang siapa ddengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang di sebut pada butir 1 orang
yang dibawah umur, yang diketahui atau patut dapat disangkanya bahwa ia dibawah
umur, melakukan perbuatan cabul dengan orang lain.
(2) Kalau
melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan pekerjaan atau kebiasaan,
maka hukuman itu boleh ditambah sepertiganya.
Menyebabkan atau memudahkan itu
harus dilakukan dengan sengaja, misalnya:
-
Seorang
ibu membiarkan anaknya yang masih dibawah umur tanpa orang lain berduaan dengan
seorang laki-laki dalam sebuah kamar.
Tindak pidana ini terdiri atas menghubungkan atau memudahkan
orang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengan orang-orang
tertentu yang tersebut dalam pasal ini dalam ke-2 orang lain yang disebut dalam
ke-1 dirumuskan secara umum yaitu mereka yang diketahuinya atau patut harus
menduganya belum dewasa. Menurut ayat kedua dari pasal ini tindak pidana
tersebut ancamannya diperberat secara khusus jika dilakukan sebagai pekerjaan
atau kebiasaan.”
g. Mata pencaharian mengadakan / memudahkan perbuatan cabul
Hal ini diatur pasal 296 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
“barang siapa yang pekerjaanya atau
kebiasaanya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan
orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat
bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”
Kata
“pekerjaanya” juga pada teks lain dipakai “pencahariannya”. Dimaksudkan bahwa
yang bersangkutan menerima bayaran. Kata “sengaja” ditunjukan pada mengadakan
atau memudahkan perbuatan cabul. Kata “kebiasaan” berarti telah berulang-ulang
dan hal ini harus dibuktikan.
Dahulu,
Hoge Raad (6 oktober 1942) menafsirkan bahwa menyewakan kamar untuk
memberi kesempatan melakukan perbuatan
cabul dengan orang lain. Telah termasuk pengertian memudahkan. Pendapat
demikian itu, pada saat ini sulit diterima. Karena dengan perkembangan dan
kemajuan dunia, dunia bisnis telah pula berkembang dengan pesat. Sehingga
persaingan semakin ketat dan upaya menngkatkan pelayanan juga tidak terlepas
dari persaingan. Usaha / bisnis hotel, motel maupun penginapan. Sudah enggan
menanyakan identitas tamunya. Telah dirasa cukup bila tamu tersebut mengisi
formulir atau mengisi buku tamu, tetapi bagi motel hal yang demikian telah
jarang diperlakukan, cukup kalau tamu tersebut telah membayar, selanjutnya yang
menyewa kamar tersebut apa dia sendiri atau dengan orang lain menemaninya,
tidak menjadi persoalan baginya. Pada umumnya bisnis motel dimana-mana memang
demikian. Bahkan penyewa telah dapat langsung dengan kendaraannya kegarasi
sehingga siapa yang berada dalam mobil, tidak ada yang mengetahui. Seadangkan
pembayaran langsung ditagih pegawai motel tersebut.
Selain dari
hal yang diutarakan diatas, tampaknya pasal ini tidak dapat diterapkan pada
lokalisasi wanita tuna susila (wts). Bahwa tampaknya masyarakat telah dapat
menerima adanya tempat lokalisasi WTS dari pada tersebar dimana-mana.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka pasal 296 KUHP tidak dapat diperlakukan terhadap areal
lokalisasi WTS.
RUU
KUHP masih mempertahankan pasal 296 KUHP yang diambil alih pada pasal 398 bahkan
meningkatkan sangsi pidana menjadi “dua belas tahun penjara”. Hal ini jelas di
muat pada penjelasan resmi pasal 398 yang bunyinya sebagai berikut:.
Pasal ini
diadakan untuk memberantas bordil-bordil atau tempat-tempat pelacuran yang
banyak terdapat di kota-kota di Indonesia. Disini dijadikan pula sebagai
unsur-unsur “menjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan”, dengan pekerjaan
dimaksudkan bilamana dalam usaha itu dilakukan pembayaran-pembayaran, sedangkan
dalam pengertian kebiasaan termasuk bahwa orang tersebut melakukannya lebih
dari satu kali. Ancaman pidana penjara minimum adalah untuk menunjukan sifat
berat tindak pidananya.”
Persepsi
tentang “kebiasaan” pada penjelasan tersebut, tidak tepat. Lebih dari satu
kali, dapat menjadi dua kali sedang jika dua kali saja umumnya belum dapat
disebut berulang-ulang. Dua kali baru dapat dikatakan berulang.
A.
Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
1.
Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana yang dikenal
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimana pembentuk
undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit. Di dalam bahasa
Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit yang
berarti suatu kenyataan atau fakta. Strafbar feit menurut pendapat
Simons ialah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggungjawab[24].
Sedangkan menurut pendapat Van
Hamel, strafbar feit adalah “kelakuan orang (menselijke gedraging)
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan[25]”
Beberapa asumsi atau pendapat mengenai pengertian tindak pidana menurut para
ahli seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno,
menurutnya tindak pidana yang dikenalnya dengan istilah perbuatan pidana yang
berarti “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut[26].
Berdasarkan asumsi di atas, dalam
hal dilarang dan diancamnya perbuatan pidananya, yaitu 1 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang dimana suatu asas yang menentukan bahwa tidak
ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, Kalimat asas yang tersebut
di atas, lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan
lebih dahulu), kalimat tersebut berasal dari Von Feurbach, seorang sarjana
hukum pidana Jerman. Asas legalitas tersebut yang dimaksud mengandung tiga
pengertian yang dapat disimpulkan yaitu antara lain :
a.
Tidak ada suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.
Untuk menentukan suatu perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi.
c.
Aturan-aturan hukum pidana tidak
boleh berlaku surut.
Perbedaaan pandangan dan pendapat dari para ahli hukum
maupun pembentuk undang-undang dalam hal mendefinisikan istilah tindak pidana
yang disetarakan dengan istilah perbuatan pidana, maupun peristiwa pidana dan
lain sebagainya kemungkinan untuk mengalihkan bahasa dari istilah asingnya
yaitu stafbaar feit, akan tetapi dari pengalihan bahasa tersebut apakah
berpengaruh atau tidak dalam makna dan pengertiannya, yang disebabkan sebagian
besar di kalangan para ahli hukum belum secara jelas dan terperinci dalam
menerangkan pengertian istilah tindak pidana, ataukah sekedar mengalihkan
bahasanya, hal tersebutlah yang merupakan pokok perbedaan pandangan diantara
para ahli hukum dalam mendefinisikan istilah tindak pidana.
Pengertian
tindak pidana merupakan suatu dasar dalam ilmu hukum terutama hukum pidana yang
dimana ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang melanggar norma-norma
atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu dapat dikatakan
sebagai tindak pidana harus memenuhi
syarat-syarat seperti :
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
b.
Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam
undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi
perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan hukum.
D Harus ada ancaman
hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu Dari
syarat-syarat di atas, perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana ialah
perbuatan yang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
mencantumkan
sanksinya.
2. Unsur-unsur
Tindak Pidana
Dalam
kita mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya, yang perlu
diperhatikan ialah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-undang atau
tidak. Berbagai macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur
yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut
merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu
antara lain sebagai berikut :
a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus
atau Culpa);
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b.
Maksud atau Voornemen pada
suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti
yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d.
Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte
raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain
terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP[27]
Sedangkan
unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu antara lain
sebagai berikut :
a.
Sifat
melanggar hukum atau Wederrechtelicjkheid;
b.
Kwalitas
dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
c.
Kausalitas yakni hubungan antara
suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat[28]
Dari uraian di
atas, yang terpenting dalam merumuskan suatu tindak pidana ialah apakah dari
perbuatan tersebut terdapat suatu sifat melanggar hukum, walaupun pembentuk
undang-undang tidak menyatakan dalam suatu unsur tindak pidana, akan tetapi
unsur tersebut sebenarnya dapat bertujuan untuk mengklasifikasikan bahwa benar
perbuatan tersebut ialah suatu tindak pidana, dan unsur lainnya seperti
kausalitas yang dimana sebab dan akibat menjadi tolak ukur dalam menentukan
bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan merupakan tindak pidana.
3. Jenis-Jenis
Tindak Pidana
Pembagian
jenis-jenis tindak pidana atau delik menurut ilmu pengetahuan hukum pidana yang
dapat dibedakan dari beberapa sudut yang antara lain sebagai berikut :
a.
Berdasarkan sistem KUHP terdapat
delik kejahatan dan delik pelanggaran tersebut terdapat dalam KUHP. Pembedaan
dan pembagian terletak pada buku II KUHP yang mngatur tentang kejahatan dan
buku III yang mengatur tentang pelanggaran. Dalam ancaman pidananya,
pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan yang dimana kejahatan yang ancaman
pidananya menitikberatkan penjara, sedangkan pelanggaran lebih menitikberatkan
denda atau kurungan. Secara kuantitatif, pembuat undang-undang membedakan delik
kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
1)
Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seseorang
melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di
Indonesia maka dipandang tidak perlu dituntut.
2)
Percobaan dan membantu melakukan
delik pelanggaran tindak pidana tidak dipidana.
3)
Pada pemidanaan atau pemidanaan
terhadap anak di bawah umur tergantung apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
b. Dari segi perumusannya terdapat delik formil dan delik materil.
Delik formil adalah suatuperbuatan pidana atau tindak pidana yang dianggap
selesai dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan delik
materil adalah suatu tindak pidana yang selesai atau sempurna dengan timbulnya
akibat yang dilarang.
c. Dari segi sifat perbuatannya terdapat delik komisi dan delik
omisi. Delik komisi yaitu tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan
aktif yang melanggar larangan. Yang dimaksud perbuatan aktif tersebut adalah
perbuatan yang mewujudkan disyaratkannya adanya gerakan dari anggota tubuh yang
berbuat. Sedangkan delik omisi dibedakan menjadi dua macam yaitu delik omisi
murni dan delik omisi tidak murni. Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu
yang diperintahkan. Sedangkan delik omisi tidak murni merupakan tindak pidana
yang terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki suatu akibat yang
ditimbulkan dari suatu pengabaian.
d.
Dari bentuk kesalahannya terdapat
delik sengaja dan delik tidak sengaja. Delik sengaja adalah tindak pidana yang
di dalam rumusannya dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sedangkan delik kelalaian atau tidak dengan sengaja adalah tindak pidana yang
dimana dalam rumusannya tidak mengandung unsur kesengajaan.
e.
Dari segi penuntutannya terdapat
delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan oleh orang yang merasakan dirugikan terhadap
tindakan pelaku. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut
tanpa adanya suatu pengaduan.
f.
Dari segi perbuatannya terdapat
delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan. Delik yang berdiri
sendiri yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan, sedangkan
delik yang diteruskan yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas beberapa
perbuatan yang mempunyai pertalian yang sedemikian eratnya sehingga harus
dianggap satu perbuatan. Pembagian antara
g.
Dari segi keadaan terdapat delik
selesai dan delik berlanjut. Delik selesai yaitu tindak pidana yang selesai
terjadi dengan melakukan satu atau beberapa perbuatan tertentu, sedangkan delik
berlanjut yaitu tindak pidana yang dilakukan untuk melangsungkan suatu keadaan
terlarang.
h.
Dari sudut berapa kali perbuatannya
yang dilarang yang dilakukan terdapat delik tunggal dan delik berangkai. Delik
tunggal yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan atau sekali
saja dilakukan, sedangkan delik berangkai ialah suatu tindak pidana yang
terdiri dari beberapa jenis perbuatan.
i.
Dari sudut kepentingan negara
terdapat delik politik dan delik kelompok. Delik politik ialah tindak pidana
yang tujuannya di arahkan kepada keamanan negara dan terhadap kepala negara,
sedangkan delik kelompok yaitu tindak pidana yang tidak ditujukan terhadap
keamanan negara atau kepala negara. Dari sudut unsur perbuatannya terdapat
delik sederhana, delik dengan pemberatan dan delik peringanan. Delik sederhana
yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh
pembentuk undang-undang. Delik dengan pemberatan yaitu tindak pidana yang
mempunyai unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokok akan tetapi ada
unsur-unsur lain yang ditambahkan, sehingga ancaman pidananya lebih berat dari
tindak pidana pokoknya. Sedangkan delik peringanan ialah tindak pidana yang
mempunyai unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokoknya akan tetapi
ditambahkan unsur-unsur lainnya yang dan dapat meringankan ancaman pidananya.
j.
Dari segi subyek hukumnya terdapat
delik propria (khusus) dan delik komun (umum). Delik propria atau delik khusus
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti pegawai
negeri sipil atau yang mempunyai kedudukan struktural di pemerintahan.
Sedangkan delik komun atau delik umum ialah tindak pidana yang dilakukan oleh
setiap orang.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak
Di Bawah Umur.
Dalam hal mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, dapat dimulai
dengan mengetahui peningkatan, hubungan pelaku sampai modus operandi dari kasus
pencabulan terhadap anak di bawah umur, dalam hal ini Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak,
menentukan tiga jenis kekerasan terhadap anak yang diklasifikasikan sebagai
kejahatan yang meresahkan anak dan mayarakat yang diantaranya ialah kekerasan
fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis.
Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah
umur dalam melakukan suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam
cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak
yang menjadi korban akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku
pencabulan.
Dalam hal pencabualn terhadap anak di bawah umur dapat
dilakukan dengan beragam modus operandi sebagai berikut :
1.
Modus
1
Pelaku melakukan tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku mengajak korban
kewarnet, setelah itu pelaku mengajak korban ketempat tongkrongannya di
jempatan sutet.Pelaku menawarkan ingin mencari sekolah SMA karna korban adalah
kelas III SMP..
2. Modus 2
Pelaku melakukan tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau modus memberikan
minuman yang dimana minuman tersebut bisa membuat anak mabok atau pingsan.
3. Modus 3
Pelaku melakukan tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku mengajak berkenalan
dengan anak yang akan menjadi korbannya, pelaku menawarkan sesuatu seperti
mengantarkannya pulang ataupun menjanjikan sesuatu. Setelah korban menerima
penawaran tersebut pelaku melakukan pencabulan.
4. Modus 4
Pelaku melakukan tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau modus memberikan
minuman yang dimana minuman tersebut telah dicampurkan obat yang membuat anak
menjadi tidur Dari modus-modus operandi pencabulan terhadap anak di bawah umur
di atas, ialah sejumlah modus operandi atau cara yang digunakan oleh pelaku pencabulan
demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada anak-anak. Dari
beragam bentuk modus yang dilakukan oleh para pelaku disebabkan oleh suatu
faktor yang mendukung perbuatan tersebut.
Tiga jenis
kekerasan terhadap anak yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang meresahkan
anak dan mayarakat yang diantaranya ialah kekerasan fisik, kekerasan seksual
dan kekerasan psikis.
Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah
umur dalam melakukan suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam
cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak
yang menjadi korban akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku
pencabulan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah sebagai
berikut :
1. Faktor
Lingkungan.
Faktor lingkungan merupakan salah satu
faktor yang dapat mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak
di bawah umur. Hal ini dapat terjadi dikarenakan situasi dan keadaan dari
lingkungan tempat tinggal yang mendukung dan memberi kesempatan untuk melakukan
suatu tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, yang antara lain
sebagai berikut :
a.
Pergaulan di lingkungan masyarakat sekitar yang terkadang sering kali melanggar
norma-norma yang berlaku seperti perkumpulan atau tongkrongan yang seringkali
berperilaku yang tidak sopan seperti mengganggu wanita, minum-minuman
beralkohol dan lain sebagainya.
b. Lingkungan
tempat tinggal yang cenderung mendukung terjadinya kejahatan, seperti lampu
penerangan jalanan yang tidak memadai sehingga menimbulkan daerah tersebut
menjadi gelap, dan sepi yang dimana hal tersebut dapat mendukung terjadinya
tindak pidana pencabulan.
c. Kurang
efisiennya sistem pengamanan dari suatu daerah oleh masyarakat maupun aparat kemananan setempat sehingga menyebabkan
daerah tersebut rawan dan sering timbul kejahatan.
d.
Keadaan di lingkungan keluarga yaitu kurang efisiennya antisipasi keluarga
terhadap anak seperti seorang anak dibiarkan bermain atau berpergian sendirian
tanpa pendampingan dan pengawasan secara intensif sehingga anak dapat diawasi
dengan baik, dengan siapa anak bermain ataupun dengan siapa teman yang baru
anak kenal dan ketahui.
e. Keadaan
di lingkungan keluarga dalam hal hubungan seksual suami istri dapat mendukung
terjadinya tindak pidana pencabulan seperti seorang ayah mencabuli anaknya (incest)
yang disebabkan hasrat seksual ayah tidak dapat dipenuhi oleh sang ibu dan
menyebabkan ayah lepas kontrol dan mencabuli anaknya sendiri, hal tersebut
lebih cenderung pelakunya ialah ayah tiri tapi dapat juga dilakukan oleh ayah
kandung atau saudara-saudara dari anak tersebut.
f. Keadaan
di lingkungan pendidikan dapat juga mempengaruhi dikarenakan di lingkungan
pendidikan juga harus di waspadai sebab banyak kasus pencabulan yang dilakukan
oleh seorang pengajar ataupun teman sekolahnya yang disebabkan oleh kurangnya
moralitas dan mentalitas dari pelaku sehingga membuat moralitas dan mentalitas
yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol
nafsu atau perilakunya.
g.
Keadaan lingkungan di jalanan bagi anak-anak yang berkehidupan di jalanan dapat
mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur,
dikarenakan kehidupan jalanan dapat dikatakan kehidupan yang sangat keras dan
memiliki potensi yang relevan bagi suatu tindak pidana pencabulan, kebanyakan
korbannya anak-anak jalanan yang berkehidupan sebagai pengamen dan pengemis,
tidak selayaknya anak-anak berada dalam lingkungan tersebut.
2. Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di
bawah umur yang dalam hubungannya dengan masalah ini merupakan suatu hasil
karya yang diciptakan dan secara terus-menerus diperbaharui oleh sekelompok
masyarakat tertentu atau dengan kata lain perkembangan suatu ciri khas
masyarakat pada suatu daerah seperti gaya hidup manusia atau masyarakat. Di
sebagian negara yang berkembang khususnya Indonesia yang memiliki beragam
kebudayaan mulai dari yang tradisional sampai modern yang semakin lama semakin
berkembang. Menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud kebudayaan yang antara lain
sebagai berikut :
a. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
c. Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia[29].
Ketiga wujud tersebut di atas, berupa
wujud dari suatu kebudayaan yang dimana jika dikaitkan dengan permasalahan
pencabulan, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
pencabulan pada anak-anak yaitu dengan berkembangnya kebudayaan tersebut dapat
mengarah pada keterbukaan dalam bentuk seksual, seperti gaya berpakaian
terutama kaum wanita dan ditiru oleh anak-anak, semakin bebasnya pergaulan
terutama dalam hal seksual bebas dan lain-lain yang mengarah pada perbuatan
melanggar kesusilaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia.
Budaya berpakaian anak yang sekarang
terkadang mengikuti perkembangan zaman yang model dari pakaiannya tidak
menutupi auratnya yang hal ini disebabkan usia seorang anak masih dalam taraf
peniruan orang-orang disekitarnya demi tumbuh kembangnya, hal berpakaian inilah
yang sedikit demi sedikit hal dapat menjadi dampak yang mengancam anak untuk
dilakukannya suatu perbuatan pencabulan tersebut, dikarenakan anak yang
berpakaian tidak menutupi auratnya yang dapat mengundang hasrat seksual orang
lain untuk menjadi seorang pelaku pencabualan demi pemenuhan hasrat seksual
pelaku.
3.
Faktor Ekonomi.
Ekonomi merupakan suatu penunjang
kehidupan setiap manusia, ekonomi atau keuangan dapat merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya suatu pencabualan terhadap anak di bawah umur.
Dalam hal yang dimaksud tersebut ialah apabila seseorang mengalami himpitan
atau kesusahan dalam bidang perekonomian, hal tersebut dapat menganggu akal
pikirannya dan dapat mengakibatkan orang tersebut akan mengalami stres berat,
sehingga dapat membuat orang tersebut dapat melakukan sesuatu hal yang tak bisa
dikontrol oleh dirinya sendiri. Hal ini cenderung di kehidupan berkeluarga dan
pengangguran yang dapat melakukan tindakan apa saja yang tak bisa dikontrol
oleh dirinya sendiri akibat dari kemerosotan perekonomian dalam kehidupannya.
4. Faktor
Media.
Salah satu faktor yang turut serta
mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur
ialah faktor media. Media merupakan sarana yang efisien dan efektif dalam
menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas, karena dengan biaya yang
relatif sesuai dengan kemampuan dan mampu menjangkau masyarakat dalam waktu yang
cukup signifikan.
Faktor media tersebut meliputi media
cetak seperti majalah-majalah atau bacaan-bacaan yang mengandung unsur
pornografi dan faktor media lainnya ialah media elektronik seperti internet,
film-film yang mengandung unsur pornografi dan lain-lain. Pornografi tersebut
dapat mempengaruhi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur,
dikarenakan pornografi mengandung unsur negatif yang dapat menimbulkan
seseorang terpengaruh dari media-media yang di lihatnya. Hal tersebut dapat
menimbulkan nafsu seksual, rangsangan, dan pikiran-pikiran tidak sehat,
khususnya dikalangan dewasa.
Walaupun
Undang-undang No 44 tahun 2008 tentang Pornografi tersebut telah diberlakukan,
akan tetapi peredaran media yang mengandung unsur pornografi dapat beredar
secara mudah di kalangan masyarakat, seakan-akan para pembuat, pengedar dan
kosumen film dan bacaan Internet merupakan suatu media ektronik yang bermanfaat
sebagai penyebar informasi diseluruh dunia bahkan bukan hanya orang dewasa saja
yang menggunakan media elektronik tersebut akan tetapi anak-anak pun sudah
dapat menggunakan media elektronik tersebut.
Fungsi
dari internet bukan hanya untuk mengetahui informasi akan tetapi dapat juga
digunakan sebagai media untuk berinteraksi sosial dari situs-situs seperti yahoo,
twitter, facebook dan lain-lain yang merupakan suatu media untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Media interaksi sosial tersebut dapat
mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan.
5. Faktor
Kejiwaan atau Psikologi.
Faktor
kejiwaan dalam hal ini dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur. Beberapa dokter ahli jiwa mengemukakan pendapat,
“bahwa perbuatan kejahatan itu selalu disebabkan oleh beberapa ciri-ciri atau
sifat-sifat seseorang, yang merupakan pembawaan dari suatu keadaan penyakit
jiwa[30].
Terkadang para pelaku pencabulan mempunyai kejiwaan yang terganggu akibat
pernah mengalami suatu peristiwa yang dapat membuat jiwanya menjadi terganggu.
Beberapa penyakit jiwa yang berhubungan dengan pelaku melakukan kejahatan, yang
antara lain sebagai berikut :
a.
Epilepsi. Penyakit sawan yang nampak nyata maupun yang tidak mudah
diketahui, yang datangnya tiba-tiba. Si penderita bila penyakitnya kambuh tidak
mampu menguasai dirinya, sehingga dalam keadaan tersebut yang bersangkutan
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan di luar kesadarannya,
antara lain perbuatan yang bertentangan dengan hukum..
b. Gejala
Sosiopatik, ciri-cirinya adalah bahwa si penderita hampir-hampir tidak
mengenal norma, tidak dapat membedakan perbuatan mana yang diperbolehkan dan
mana yang tidak, akibatnya si penderita hampir selalu berurusan dengan hukum,
karena ada diantara perbuatannya di luar keinginannya yang merupakan kejahatan.
c. Schizophrenic,
suatu penyakit jiwa yang menyebabkan si penderita hidup dalam keadaan jiwa yang
terbelah, dimana yang bersangkutan sering dalam kehidupan khayal, yang suatu
saat khayalannya dianggap kenyataan yang dihadapi[31].44
Bagi
pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur ini sering disebut dengan istilah
phedofilia yaitu suatu suatu istilah dari ilmu kejiwaan yaitu phedofil
yang artinya dapat disimpulkan ialah melampiaskan hasrat seksual kepada
anak-anak. Pada faktor kejiwaan yang menyimpang inilah yang merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak
di bawah umur. Penyebab penyakit Phedofilia ini sangat bervariasi ada
yang berupa trauma sewaktu kecil akibat pernah disodomi ataupun ketidaksukaan
terhadap orang dewasa akan tetapi lebih menyukai anak-anak di bawah umur dalam
hal hubungan seksualnya.
B.
Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut
Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku Di Indonesia.
Dari
berbagai kasus pencabulan yang terjadi di Indonesia yang bermacam macam bentuk
dan modus operandinya seperti dirayu, diancam, dipaksa, ditipu dan lain
sebagainya, para pelaku pencabulan tersebut menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia rata-rata dijatuhi hukuman penjara sekitar tiga
sampai lima tahun.
Efisiensi hukuman penjara tersebut
apakah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku pencabulan anak
di bawah umur, ini menjadi suatu polemik dikalangan masyarakat, akan tetapi
penjatuhan hukuman bagi pelaku itu tergantung pada proses hukumnya. Majelis
Hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi para pelaku didasarkan pada pembuktian dan
keyakinan dari hakim serta dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan, hal-hal ini yang akan menjadi tolak ukur dari berat ringannya
hukuman bagi pelaku. Sebagaimana pengaturan bagi pelaku pencabulan terhadap
anak di bawah umur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia ialah sebagai berikut :
1. Sanksi
Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan
terhadap anak di bawah umur menurut KUHP ialah sebagai berikut :
a.
Pada pasal 289 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar
kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun[32]
Dari pasal
289 KUHP di atas, pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat diancam
hukuman pidana penjara paling lama Sembilan tahun, akan tetapi dalam pasal ini
tidak menyebutkan kategori korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya
seorang wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh
klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat dikategorikan
dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang korbannya anak di bawah umur berarti
dapat diatur dalam pasal ini
Pengaturan
pada pasal ini ialah apabila pelaku pencabualan terhadap anak di bawah umur
melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan cara kekerasan atau ancaman
kekerasan, melainkan dengan cara meminumkan suatu zat atau obat yang membuat
korbannya pingsan atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
c.
Pasal
290 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
1. Barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak
berdaya.
2. Barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya,
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk kawin.
3. Barangsiapa membujukseseorang yang
diketahuinya atau sepatutnya diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun
atau kalau umumnya tidak jelas yang bersangkutan atau belum waktunya untuk
dikawinin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.
Perbuatan yang terjadi di sini adalah
perbuatan pencabulan terhadap anak di bawah umur dilakukan dengan memaksakan
kehendak dari orang dewasa terhadap anak di bawah umur yang dilakukan tanpa
atau dengan kekerasan demi tercapainya pemenuhan hasrat seksual.
Pemenuhan
hasrat seksual yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi dengan cara atau
upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan mengiming-imingi korban dengan
sesuatu atau hadiah yang membuat korban menjadi senang dan tertarik, dengan
demikian si pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan maksudnya untuk mencabuli
korban. Dalam hal ini pelaku dapat diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
2. Sanksi Pidana Bagi Pelaku
Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Sanksi pidana
bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut undang-undang
perlindungan anak ialah sebagai berikut :
a.
Pasal
82 ayat (1) yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00
(enam puluh rupiah)[33]
Proses selama persidangan
1. Proses hukum dikepolisian
Bentuk perlakuan khusus terhadap
tersangka anak dibawah umur PSKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG ditahap
penyidikan tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan khusus yang diatur oleh
undang-undang nomr 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penyidik dikepolisian
lebih menekankan hukum secara pidana pada umumnya dan mempergunakan teknik
resense untuk menjerat pelaku tindak pidana, pinyidik khusus anak dikepolisian
bekasi timur tidqak ada, klarisifikasi penanganan penyidikan tidak didasarkan
pada golongan usia pelaku tetapi penyidikan didasarkan dari macam tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku
Tempat penahanan sel khusus anak
dilingkungan rumah tahanan Negara kepolisisn dibekasi tidak ada, terdakwa
ditempatkan di sel rumah tahanan tercampur dengan orang dewasa.
2. Proses hukum dikejaksaan
Perlakuan khusus terhadap terdakwa
PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG Bekasi timur juga tidak sepenuhnya
menerapkan ketentuan hukum khusus yang diatur dalam Undang-undang nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, Jaksa penuntut umum khusus anak dikejaksaan
bekasi sebenarnya sudah ada akan tetapi
telah pidah tugas, penanganan perkara anak dilakukan oleh jaksa penuntut umum
lainnya. Tempat penahanan tersangka anak
dibawah umur selama menjalani proses penuntutan bekasi timur tindak mempunyai
rumah tahanan anak.
3. Proses hukum dipengadilan
Pada saat dilakukan proses di
pengdilan negeri Bekasi timur tersangka anak nakal juga tidak sepenuhnya
mendapatkan perlakuan khusus seperti yang ditentukan dalam Undang-undang. Hakim
khusus anak dipengadilan Negeri Bekasi tidak ada, penanganan perkara anak
dilakukan oleh hakaim lain yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri bekasi.
Selama proses persidangan berlangsung ketentuan hukum acara yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tantang Pengadilan Anak telah sebagaian
diterapkan, dimana sidang anak dibawah umur dilakukan tertutup untuk umum yang hanya dapat dihadiri oleh orang-orang
tertentu. Akan tetapi hakim yang memeriksa adalah majelis hakim, bukan hakim
tunggal.menurut ketentuan ditekankan untuk kasus anak hakimyang memeriksqa
adalah hakim tunggal yang dibantu oleh seorang panitera. Sidang didahului penyampaian hasil penelitian
kemasyarakatan, dengan para pejabat yang tidak memeakai atribut kebesaran
berupa toga. Hakim dalam mengambil keputusan telah mempertimbangkan segala hal
yang berkaitan dengan tersangka seperti yang terlihat pada putusan yang
dijatuhkan kepada PASAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG.
4. Proses hukum di lembaga
pemasayarakatan
Terpidana anak dibawah umur atas
nama PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dieksekusi oleh jaksa openuntut
umum denga ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatankhusus anak di bekasi. Perlakuan khusus yang didapatkan terpidana
anak dibawha umur atas nama PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG
Hampir telah seluruhnya sesuai dengan
ketentuan Undqng-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dimana
lembaga pemasyarakatan tempat dilaksanakananya eksekusi adalah lembaga
pemasyarakatan khusus anak yang terpisah dari orang dewasa, selama menjalani
pidana terpidana anak dibawah umur mendapat perlakuan yang sama dengan anak
didik pendidikan dan pelatihan serta mendapatkan hak-haknya yang sebagai
narapidana anak.
C.
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur.
Upaya
untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu pencegahan dan penanggulangan jika tindak
pidana.
pencabulan terhadap anak di bawah umur terlanjur terjadi,
upaya tersebut dapat dilakukan yang antara lain sebagai berikut :
1.
Langkah-Langkah Pencegahan
Untuk
menanggulangi suatu kejahatan dapat dilakukan dengan upaya pencegahan atau
dengan kata lain mencegah lebih baik daripada mengobati hal yang telah terjadi,
sehubungan dalam pembahasan skripsi ini berarti upaya untuk mencegah terjadinya
tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang merupakan perbuatan
yang keji dan tidak bermoral. Langkah-langkah pencegahan diupayakan yang
bertujuan untuk mengurangi tindak pidana khususnya pencabulan pada anak-anak di
bawah umur dan juga suatu usaha untuk melindungi anak-anak yang memang sangat
rentan untuk menjadi korban pencabulan, dikarenakan anak ialah sebagai tunas
bangsa, merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara.
Anak harus
mendapatkan perlindungan dari gangguan-gangguan berupa perlakuan salah kepada
anak. Jika tidak dilindungi, maka anak sebagai generasi bangsa dapat mengalami
kehancuran, lebih memperihatinkan apabila anak-anak sampai menjadi korban
tindak pidana pencabulan, maka hancurlah kreativitas, kemauan, dan bakat
seorang anak dalam mengembangkan pemikiran dan tumbuh kembang melalui proses
coba-mencoba, sehingga generasi muda akan mengalami hambatan dan pada akhirnya
secara keseluruhan akan menghambat berjalannya proses kaderisasi bangsa. Oleh
karena itu, keluarga, masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum saling
berkerja sama bahu-membahu untuk menekan peningkatan angka tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur hingga serendah-rendahnya bahkan sampai
kejahatan ini tidak ada lagi. Usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh keluarga,
masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum untuk mencegah terjadinya
tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah sebagai berikut :
a. Meningkatkan
keamanan di lingkungan sekitar, hal ini dapat dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat bersama saling membahu untuk menjaga lingkungan disekitarnya,
sehingga kesempatan dan ruang gerak dari para calon pelaku pencabulan menjadi
sempit dan dapat mengurangi peningkatan angka kejahatan khususnya tindak
pencabulan terhadap anak di bawah umur.
b. Membenahi
sarana dan fasilitas di lingkungan sekitar, misalnya menambah atau memperbaiki
penerang
c. Perbaikan daerah-daerah
yang relatif dengan tindak kejahatan khususnya pencabulan seperti rawa-rawa dan
hutan disekitar lingkungan perumahan dikarenakan lingkungan seperti ini sangat
potensial menimbulkan kriminalitas, termasuk tindak pidana pencabulan terhadap
anak di bawah umur.
d.
Pemberantasan film dan bacaan yang mengandung unsure pornografi yang beredar
secara luas di kalangan masyarakat, karena sering kali tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur terjadinya karena melihat film atau bacaan yang
mengandung pornografi.
e. Partisipasi
aktif atau keikutsertaan tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk membina dan
menuntun masyarakat di lingkungan sekitarnya, dikarenakan tokoh-tokoh tersebut
ialah sebagai contoh dari pengembangan perilaku masyarakat dan dimana tokoh
tersebut sangat dihargai pendapatnya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh ini berfungsi
meningkatkan dan membimbing moralitas dan mentalitas masyarakat agar tidak
terjerumus dalam hal-hal yang negatif atau jahat. Apabila dalam hal ini dapat
berjalan dengan baik, maka diharapkan mental dan moral masyarakat menjadi baik
dan angka peningkatan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur
dapat berkurang semaksimal mungkin.
f.
Masyarakat harus lebih intensif dalam menyikapi dan menyaring kebudayaan asing
atau baru yang mengandung unsur negatif dan yang dapat merusak moral. Hal
tersebut dapat berjalan dengan baik dengan didukungnya oleh peran aktif seluruh
unsur-unsur yang memegang kedudukan penting seperti orang tua, guru, para tokoh
agama atau masyarakat, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
g.
Dalam hal kehidupan rumah tangga atau keluarga, seperti hubungan orang tua dan
anak selayaknya harus tetap efisien terjalin, seperti memberikan perhatian,
nasehat, bimbingan dan perlindungan bagi anak demi kebaikannya dan
menyelamatkannya dari perlakuan salah yang dilakukan oleh pelaku. Hal tersebut
sangat diperlukan dalam proses pendewasaan anak serta anak dapat mengetahui
hal-hal apa yang baik bagi anak dan hal-hal apa yang buruk bagi anak.
Dari rincian usaha mencegah
terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di atas,
merupakan suatu bentuk untuk mencegah agar perbuatan yang keji dan tidak
bermoral yang korbannya ditujukan kepada anak-anak khususnya kasus pencabulan
yang menimpa anak di bawah umur atau dengan kata lain mencegah lebih baik
daripada menanggulangi. Mencegah perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk
untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban tindak pidana. Perlindungan
anak merupakan suatu usaha yang mengadakan suatu kondisi,
dimana setiap anak dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya, maka dengan demikian kita wajib mengusahakan perlindungan
anak sesuai dengan kemampuan untuk melindungi anak dari perlakuan salah yang
ditujukan kepada anak, demi kepentingan tumbuh kembang anak serta kepentingan
bangs dan Negara.
2. Langkah-Langkah
Penanggulangan Jika Terjadi Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah
Umur.
Apabila
seluruh lapisan masyarakat berserta pemerintah dan penegak hukum telah berupaya
untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur
dengan menerapkan langkah pencegahan akan tetapi peristiwa atau perbuatan yang
tidak diharapkan tersebut ternyata tetap terjadi juga, maka terpaksa dilakukan
langkah penanggulangan untuk menyelesaikan dan mengatasi dengan tuntas kasus
yang terlanjur terjadi.
Dalam
penyelesaian kasus-kasus pencabulan yang menimpa anak di bawah umur, walaupun
kasus tersebut telah tuntas diproses secara hukum akan tetapi menyisakan
masalah-masalah lainnya seperti dampak akibat pencabulan tersebut bagi anak dan
keluarganya, karena merasa keadilan yang mereka harapkan belum terpenuhi
seluruhnya. Terkadang hukuman bagi pelaku tidak sesuai dengan perbuatan pelaku
tersebut. Oleh karena itulah para aparat penegak hukum diharapkan untuk
berkerja seoptimal mungkin, agar penegakan hukum dapat terwujud sebagaimana
yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Proses hukum bagi para pelaku
tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur merupakan suatu langkah
dalam menanggulangi tindak pidana khususnya tindak pidana pencabulan terhadap
anak di bawah umur yang telah terjadi. Yang dimana proses hukum tersebut harus
berjalan secara efisien demi tercapainya suatu penegakan hukum yang diharapkan
oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya korban dan keluarganya. Langkah
penanggulangan yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat beserta pemerintah dan
para penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak
di bawah umur ialah sebagai berikut :
a.
Dukungan
dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengungkapan kasus kejahatan khususnya
kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, apabila tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur terjadi di lingkungan sekitar, maka pihak
masyarakat yang mengetahui adanya tindak pidana pencabulan terhadap anak di
bawah umur segera mengadukan hal tersebut ke aparat keamanan setempat. Hal
tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya mencegah pencabulan terhadap anak di
bawah umur, sebab terkadang tindak pidana pencabulan terhadap anak, korbannya
yang masih usia anak masih polos dan lugu, biasanya anak tersebut mendapatkan
imbalan berupa uang dan ancaman dari pelaku yang membuat anak tersebut takut
dan tunduk sehingga tidak memberitahukan hal tersebut pada orang lain. Peran
masyarakatlah khususnya pihak keluarga korban yang sangat dibutuhkan apabila
terjadi suatu gejala atau tingkah laku yang aneh pada mental ataupun tubuh anak
akibat pencabulan, hendaknya segera melapor ke aparat keamanan setempat.
b. Kepolisian
sebagai penyidik dan sekaligus pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat
khususnya dalam hal ini Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), harus teliti
dan cermat dalam mencari bukti-bukti seperti visum maupun keterangan saksi,
agar pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur tidak lepas
begitu saja dari tindak pidana yang disangkakan, sebab banyak kasus pencabulan
terhadap anak yang terjadi, para pelaku seringkali dibebaskan dikarenakan
dengan alasan tidak cukup bukti yang menguatkan tersangka. Hal tersebut dapat
dipahami, karena ketika terjadi pencabulan terhadap anak di bawah umur selalu
melakukan kejahatannya ditempat yang sulit diketahui dan didengar oleh orang
lain atau dengan kata lain tertangkap tangan. Oleh sebab itu, kinerja,
profesinalisme maupun mentalitas dari pihak kepolisian sangat diharapkan dalam
hal ini dalam mengungkap kejahatan khususnya kasus-kasus pencabulan terhadap
anak di bawah umur.
c. Penuntut
umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”[34]
sesuai dengan pasal 13 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kejaksaan merupakan suatu institusi yang diberikan wewenang untuk melakukan
penuntutan terhadap pelaku, yang dimana jaksa diharapkan untuk dapat
mencermati, menelaah dan memperhatikan unsur-unsur pasal yang disangkakan dalam
mendakwa dan menuntut para pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur agar dijerat
dengan pasal yang sesuai dengan perbuatan pelaku.
d. Pihak
kehakiman harus bekerja efisen dalam menjatuhkan hukuman yang benar-benar
setimpaldengan perbuatan pelaku. Ini bukan sekedar suatu kesempatan balas
dendam, melainkan agar pelaku jera dan supaya para calon pelaku yang berikutnya
berpikir seribu kali jika hendak berniat
mencabuli anak, dan supaya korban dan
keluarga serta masyarakat merasa lebih tenang dan terlindungi serta demi
kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia ini tetap dapat
dipertahankan.
e. Lembaga
independen dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan masalah
perlindungan anak, dapat melakukan upaya penanggulangan jika terjadi pencabulan
terhadap anak yaitu dengan cara mengedepankan hak-hak seorang anak seperti
melindungi anak yang menjadi korban pencabulan, mendampingi, memantau,
melakukan pendekatan pada anak yang menjadi korban pencabulan yang berguna
untuk membantu proses penyidikan dikarenakan anak korban pencabulan sulit untuk
mengingat atau berbicara mengenai peristiwa pencabulan yang dialaminya, dan
yang terakhir ialah melakukan proses rehabilitasi anak atau dengan kata lain
melakukan upaya untuk memulihkan psikis anak korban pencabulan akibat trauma
atas peristiwa pencabulan yang dialaminya.
f. Media
cetak maupun media elektonik dapat juga membantu proses penanggulangan
terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yaitu dengan
cara mengadakan berita investigasi atas kasus pencabulan terhadap anak di bawah
umur akan tetapi wajah maupun identitas korban disamarkan atau disensor agar
identitas korban tidak diketahui publik dan demi kelangsungan masa depan
korban, sehingga ruang gerak dari pelaku yang buron menjadi sempit, dengan
demikian polisi akan lebih mudah melacaknya serta menangkapnya. Dalam hal ini
juga, pihak aparat bisa bekerja sama dengan pihak media untuk mencoba melakukan
berbagai cara atau tindakan yang diperkirakan dapat menekan angka tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur, misalnya dengan menayangkan berita
tentang pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur beserta
memaparkan ancaman hukumannya, ataupun dengan acara penyuluhan hokum tentang
tindak pidana tersebut di televisi dan lain-lain.
Dari
rincian di atas, merupakan suatu langkah-langkah yang bertujuan untuk
menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang terbagi
atas beberapa langkah yaitu langkah pencegahan dan langkah untuk menanggulangi
jika terjadi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dapat
dilakukan oleh keluarga, masyarakat beserta pemerintah.
Dari
Putusan No : 757/Pid.B/2013/PN.Bks penulis berpendapat bahwa Hakim jelas
bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1997, kenapa demikian,
dikarenakan Hakim tetap membuka Penasehat Hukumnya, orang tua, wali, orang tua
asuh dan Pembimbing Kemasyarakatan. Walaupun banyak tersedia Hakim yang telah
berpengalaman lama, akan tetapi mereka tidak mungkin dapat diangkat menjadi
Hakim Anak apabila yang bersangkutan tidak memiliki minat, pemerhati, dedikasi,
dan memahami masalah anak. Ini berarti tidak semua hakim yang telah
berpengalaman dapat menjadi Hakim Anak.
Dari
analisis tersebut diatas penulis tidak sepakat dengan putusan yang telah
diberikan Hakim terhadap terdakwa PASKAH
SAHPUTRA BASKAMI SITEPU, seakan-akan terdakwa diharuskan mengakui
perbuatannya karena terdakwa tidak mempunyai pembelaan yang seharusnya
diberikan oleh Penasehat Hukumnya.
H.M SALEH
RASOEN,SH.MH sebagai Hakim Ketua dan H.HERMANSYAH, SH. MH. Dan SURANTO. SH sebagai hakim anggota yang
memutuskan perkara terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU, GUSTI HAMDANI,
SH.,MH sebagai Jaksa Penuntut Umum dan Hj, AFRIENDA, SH.,MH sebagai Panitera
Pengganti.
BAB
IV
A.
Analisis
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pencabulan Terhadap Anak.
Dalam hal ini
Pencabulan terjadi antara seseorang yang berusia dibawah 18 tahun kepada
seseorang yang juga berusia di bawah 18 tahun. Ini berarti menjadi korban
adalah seorang anak. Oleh karena itu, Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan adalah Undang-undang N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU
Perlindungan Anak”) sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP
Pengertian anak, menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam hal
ini terjadi tindak pidana pencabulan antara anak dibawah umur tersebut, karena
diawali dengan rayuan terlebih dahulu dari si anak laki-laki, maka dia (terdakwa)
dikenai pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak. “Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, mamaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas tahun) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”
Hal ini juga sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1
ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pemgadilan Anak.
(“Undang-undang Pengadilan Anak”) yaitu “Anak adalah orang yang belum mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) dan
belum pernah kawin.
Perkara
pencabulan yang mana pelaku maupun korbannya adalah anak dan diputus oleh
Pemgadilan Negeri Bekasi No. 757/PID.B/2013/PN.Bks maka dalam perkara ini
Tindak Pidana Pencabulan yang dilakukan oleh PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als
ABANG yang masih berumur 16 tahun diberikan hukuman pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah
terdakwa tetap di tahan, dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) Subsidair 3 (dua) Bulan Kurungan.
Hakim Pengadilan Negeri Bekasi berdasarkan putusannya pada
Pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 (1) KUHP.
B.
Kasus
Posisi
1. Identitas Terdakwa
Nama : PASKAH SAHPUTRA
BASKAMI SITEPU Alias ABANG
Umur : 16 Tahun
Tempat
Tanggal Lahir : Bekasi, 31 Maret 1997
Jenis
Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Komplek Candra Indah Jl. Irian Blok E 60 Rt.03/016
Kelurahan Jatirahayu Kec. Pondok
Melati Kota Bekasi.
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : -
2. Penahanan
- Terdakwa Ditahan sejak tanggal 16 Mei 2013
dan Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan 16 Mei 2013.
B. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa
Primair
Perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana Pasal 82 Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP
Subsidair
Perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam menurut pidana pasal 82 Undang-undang
Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
2. Tuntutan jaksa penuntut umum
Fakta-fakta
yang terungkap dipersidangan secara berturut-turut berupa keterangan
saksi-saksi keterangan terdakwa, petunjuk, dan bukti sbb
Keterangan
saksi-saksi
1. Saksi SHAFINA DHILA
Memberikan
keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-
Bahwa
saksi dalam keadaan jasmani dan rohani;
- Bahwa saksi kenal dengan terdakwa;
- Bahwa saksi pernah diperiksa di kantor polisi
dan keterangannya benar;
- Bahwa awalnya sekitar pukul 13.00 Wib pada
hari selasa tanggal 14 Mei 2013 Saksi
dijemput oleh ANDRIFA dan ALEXANDER SANTO NAPITUPULU didepan sekolah Yasfi oleh
ANDRIFA di Kampung Sawah Bekasi kemudian diajak ke warnet, setelah itu ANDRIFA
mengajak saksi untuk bersama-sama ke tempat tongkrongan nya dijembatan sutet,
setelah sampai lalu ANDRIFA memperkenalkan saksi dengan teman-teman nya kurang
lebih 8 (Delapan) orang antara lain PASKAH SAHPUTRA, IRWAN ALFRIDO, YANRI UMBU
LALOMILA Als BETA dan IYOS BENEDIKTUS SITORUS lalu ANDRIFA dan ALEX membeli
minuman keras jenis chiu, selanjutnya Saksi bersama dengan yang lainnya meminum
chiu tersebut.
Bahwa
atas keterangannya saksi diatas tersebut, terdakwa membenarkannya
2. Saksi ENDANG SUBARANI
Memberikan keterangan dibawah sumpah
pada pokoknya sebagai berikut :
-
Bahwa
saksi adalah orang tua dari korban yang bernama SHAFINA DHILA
-
Bahwa
saksi tidak kenal dengan terdakwa
-
Bahwa
saksi pernah diperiksa dikantor polisi dan keterangannya benar
-
Bahwa
sepengetahuan saksi pada hari SELASA tanggal 14 Mei 2013 SHAFINA DHILA pernah
menyampaikan kepada saksi ingin menyampaikan kepada saksi ingin mencari sekolah
SMA bersama temannya namun tidak dikasih tau siapa teman nya itu lalu oleh
saksi ditunggu sampai larut malam kok anak saksi yang bernama SHAFINA DHILA
tidak pulang kerumah.
-
Bahwa
pada pagi harinya sekitar pukul 08.00 WIB SHAFINA DHILA pulang kerumah diantar
oleh temannya lalu ketika saksi tanyakan
kepada SHAFINA DHILA kemana saja dan kenapa mukanya terlihat pucat lalu dijawab
oleh SHAFINA DHILA bahwa semalam habis diberikan minuman sampai mabuk dan
dipaksa disetubuhi dan dicabuli dengan kekerasan oleh terdakwa dirumah pak
Gunawan Jl. Pasar Kecapi Rt. 009/011 Kel. Jatirahayu ditempat YANRI bekerja
sebagai pengurus rumah dan mengurus anjing peliharaan.
-
Bahwa
setelah itu saksi melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian.
Bahwa
atas keterangan saksi diatas tersebut, terdakwa membenarkan
3. Saksi PASKAH SAHPUTRA
Memberikan
keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-
Bahwa
saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
-
Bahwa
saksi tidak kenal dengan terdakwa
-
Bahwa
saksi pernah diperiksa di kantor polisi dan keterangan nya benar
-
Bahwa
saat saksi ketempat tongkrongan ternyata sudah ada teman2 yang lainnya lalu
ANDRIFA dan ALEXANDER membeli minuman keras jenis chiu, selanjutnya
bersama-sama pada meminum shiu yang diberikan tersebut
-
Bahwa
menjelang malam SHAFINA DHILA dibawa oleh ANDRIFA dan ALEXANDER dengan memapah
SHAFINA DHILA ke rumah YANRI UMBU LAMOMILA Als BETA, saat saksi SHAFINA berada
didalam kamar lalu saksi masuk kedalam kamar dan berbaring disamping saksi
SHAFINA, kemudian saksi mencium bibir saksi SHAFINA dan kedua tangan saksi
memegang payudara saksi SHAFINA sambil meremas-remas, saat tangan saksi
memegang kemaluan saksi SHAFINA lalu saksi SHAFINA menolaknya, selanjutnya
saksi pergi keluar dari kamar.
-
Bahwa
pada saat saksi berada diluar lalu banyak yang masuk kedalam kamar, tidak lama
kemudian saksi masuk lagi kedalam kamar
sebab saksi mendengar teriakan
takut nanti ada tetangga yang mendengar
dan melaporkan kepada polisi, lalu ketika saksi masuk kedalam kamar saksi
melihat ALEXANDER SANTO NAPITUPULU
sedang menindih SHAFINA DHILA kemudian saksi mengatakan untuk jangan berisik
nanti kedengaran warga dan diaduin kepolisi
-
Bahwa
setelah itu terdakwa pada keluar kamar tersebut
Bahwa
atas keterangan saksi di atas tersebut, tersebut membenarkannya.
4. Saksi ALEXANDER SANTO NAPITUPULU
Memberikan
keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-
Bahwa
saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
-
Bahwa
saksi tidak kenal dengan terdakwa
-
Bahwa
saksi spernah diperiksa dikantor polisi dan keterangan nya benar
-
Bahwa
sekitar pukul 13.00 Wib pada hari selasa tanggal 14 Mei 2013 saksi SHAFINA
dijemput oleh ANDRIFA dan saksi didepan sekolah Yasfi di Kampung Sawah Bekasi
diajak untuk bersama-sama ke tempat tongkrongan dijembatan sutet, setelah
sampai lalu ANDRIFA membeli minuman
keras sejenis chiu, kemudian datanglah PASKAH SAHPUTRA lalu IYOS BENEDIKTUS SITORUS dan IRWAN
ALFRIDO ke tempat tongkrongan tersebut, selanjutnya terdakwa bersama SHAFINA,
ANDRIFA, IYOS BENEDIKTUS SITORUS, PASKAH SAHPUTRA dan IRWAN ALFRIDO meminum
chiu tersebut.
-
Bahwa
sekitar pukul 18.00 WIB ketika saksi SHAFINA sudah mabuk dan dibawa oleh
ANDRIFA dan saksi dengan menggotong saksi SHAFINA ke rumah YANRI UMBU LAMOMILA
Als BETA, saat saksi SHAFINA berada didalam kamar.
-
Bahwa
pada saat PASKAH SAHPUTRA keluar dari dalam kamar lalu masuk ANDRIFA dan saksi
ke dalam kamar, setelah masuk tidak lama kemudian saksi shafina keluar kamar
dan muntah, oleh saksi dibantu ke kamar mandi dan dibersihkan setelah itu saksi
SHAFINA dibawa masuk kedalam kamar tetapi saksi SHAFINA sempat tidak mau,
akhirnya dibujuk oleh saksi untuk masuk kedalam kamar lalu diangkat saksi
SHAFINA oleh saksi dan ANDRIFA masuk
kedalam kamar dan ditidurkan diatas kasur.
-
Bahwa
pada saat saksi SHAFINA berada diatas kasur lalu ANDRIFA memeluk saksi SHAFINA
dari samping sambil mencium saksi SHAFINA, kemudian saksi menghitung jari
sambil mengatakan “1, 2, 3….” Langsung membekap mulut saksi shafina, lalu YANRI
UMBU LALOMILA Als BETA memegang kaki kanan saksi SHAFINA dan IYOS BENEDIKTUS
SITORUS memegang kaki kiri, YANRI UMBU LALOMILA Als BETA membukan kancing
sleting celana saksi SHAFINA oleh IYOS BENEDIKTUS SITORUS memegang kaki kiri,
YANRI UMBU LALOMILA Als BETA memasukkan juga jarinya kedalam lubang vagina
saksi SHAFINA, sedangkan ANDRIFA memeluk sambil meraba payudara saksi SHAFINA,
setelah itu saksi membuka baju sendiri hingga terlihat bugil langsung menindih
SHAFINA tiba-tiba datang PASKAH SAHPUTRA ke dalam kamar dan berkat “Jangan pada
berisik nanti tetangga dengar” kemudian saksi SHAFINA berteriak sambil
menangis, selanjutnya YANRI UMBU LALOMILA Als BETA, IYOS BENEDIKTUS SITORUS dan
saksi keluar kamar lalu menyusul ANDRIFA.
Bahwa
atas keterangan saksi diatas tersebut, terdakwa membenarkan
Surat
- surat
Berita
Acara hasil Visum et Revertum023-03365 Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
nomor 040.04/023-03365690/V/2013/RM tanggal 17 Mei 2013 yang dibuat dan
ditandatangani mengingat sumpah jabatan oleh dr. R. PANDJI SETIAWAN , Sp.OG dengan
kesimpulan bahwa pada selaput darah (Hymen) Non-itak (tidak utuh) kemungkinan
disebabkan oleh trauma benda tumpul.
C.Putusan
pengadilan
Sebelum
menjatuhkan putusan majelis hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut
Menimbang, bahwa berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan majelis hakim akan membuktikan unsur
membujuk artinya melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga
orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara
yang sebenarnya ia tidak akan berbuat demikian.
Menimbang, bahwa berdasarkan
fakta-fakta sebagaimana tersebut diatas majelis Hakim berkeyakinan unsur
membujuk anak melakukan pencabula telah terpenuhi.
Menimbang bahwa oleh karena
pemeriksaaan
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur
dari pasal 82 UU Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa dan selama
pemeriksaan perkara ini tidak ditemukan adanya alasan pemaaf ataupun alasan
pembenar yang dapat mengahapuskan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya,
sehingga Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar
pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 dan harus
dipidana yang setimpal dengan perbuatannya.
Menimbang, bahwa yang dimaksud anak
adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak
masih didalam kandungan, sedangkan oleh karena unsur-unsur lainnya bersifat
alternatif maka apabila salah satu unsur telah terbukti maka yang lainnya tidak
perlu dibuktikan lagi.
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap dipersidangan Majelis Hakim akan membuktikan unsur membujuk
artinya melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu
menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui dduduk perkara yang
sebenarnya ia tidak akan berbuat demikian.
Menimbang, bawha berdasarkan
keterangan saksi-saksi, terdakwa dan bukti surat yang diajukan dipersidangan
setelah Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG kebal dan bertemu
dengan saksi korban SHAFINA DHILA terdakwa mengetahui saksi korban SHAFINA
DHILA masih sekolah kelas 3 (tiga) SMP dan berumur 14 (empt belas tahun) lahir
pada tanggal 23 Sepertember 1998, selanjutnya pada tanggal 27 maret 2013
terdakwa mengajak saksi korban SHAFINA DHILA tidur-tiduran dikamar sambil
mendengarkan music MP3 melalui HP selanjutnya terdakwa mulai merayu saksi
korban SHAFINA DHILA dengan mengatakan kamu cantik dik, saya ingin memiliki
kamu seutuhnya, bolehkah saya meminta keperawananmu, kamu tidak usah takut
kalau kamu hamil saya akan bertanggung jawab “akhirnya terdakwa menciumi bibir
saksi korban SHAFINA DHILA oleh karena nafsu birahi terdakwa sudah memuncak
selanjutnya terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang kedalam
kemaluan saksi korban SHAFINA DHILA sambil menggoyang-goyangkan pantatnya naik
turun oleh karena terdakwa merasa nikmat akhirnya terdakwa mengeluarkan air
maninya diluar kemaluan saksi korban SHAFINA DHILA selaput dara (hymen) tempak
luka robek pada arah jam satu luka sampai dasar. Sesuai dengan hasil Visum et
Revertum Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi nomor.
040.04/023-03365690/V/2013/RM tanggal 17 mei 2013 yang dibuat dan
ditandatangani mengingat sumpah jabatan oleh dr. R PANDJI SETIAWAN, Sp.OG
dengan kesimpulan bahwa pada selapur dara (Hymen) Non-Intsk (tidak utuh),
kemungkinan disebabkan oleh trauma benda tumpul sebagai luka lama;
Menimbang, bahwa selama pemeriksaan
perkara ini Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dapat mengikuti
persidangan dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh karena itu terdakwa
sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban atas segala
perbuatannya maka oleh karena itu unsur barangsiapa telah terpenuhi
Menimbang, bahwa agar pidana yang
dijatuhkan dapat memberikan efek jera dan agar terdakwa tidak mengulangi
perbuatannya serta mencegah agar orang lain tidak melakukan perbuatan pidana maka
ditetapkannya terdaka tetap ditahan.
Menimbang, barang bukti berupa 1 (satu)
stel pakaian seragam SMP, baju putih dan rok biru, maka diperintahkan
dikembalikan kepada saksi korban SHAFINA DHILA, sedangkan satu stel bantal busa
lapis tisu bash merk majic maka diperintahkan dirampas untuk dimusnahkan.
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan
pidana kepada terdakwa majelis hakim akan mempertimbangkan nota pembelaan dari
penasehat hukum Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Ala ABANG yang pada
pokoknya merasa bersalah, menyesal dan berjanji ntidak akan mengulang
perbuatannya oleh karena itu mohon keringanan hukuman, hal tersebut akan
dipertimbangkan sebagain hal yang
meringankann hukuman.
Hal-hal
yang memberatkan
-
Perbuatan
terdakwa melanggar norma hukum, agama dan susila
-
Perbuatan
terdakwa telah merusak mental dan masa depan saksi korban SHAFINA DHILA
Hal-hal
yang meringankan
-
Terdakwa
mengaku berterus terang atas perbuatannya
-
Terdakwa
mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya
-
Terdakwa
belum pernah dihukum
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Tinggi Negeri
Bekasi dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengajukan Tuntutan sebagai
berikut :
1. Menyatakan terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI
SITEPU Ala ABANG bersalah melakuakan tindak pidana “Perlindungan Anak”
sebagaimana yang diatur dan diancam pidana OPasal 82 UU No. 23 Tahun 2003
Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat 1 ke- 1 KUHP
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa
PASKAH SAHPUTRA SITEPU Als ABANG berupa penjara selama 7 (tujuh) tahun
dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap di
tahan, dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00 (Enam puluh juta
rupiah) Subsidair 3 (tiga) Bulan kurungan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa;
-
1
(satu) stel pakaian seragam SMP, baju putih dan rok biru dikembalikan pada
saksi SHAFINA
-
1
(satu) buah bantal busa lapis kaian warna kuning bercorak kembang
-
3
(tiga) bungkus kecil tisu basah bash Merk Majic
Dirampas
untuk dimusnahkan
4. Menetapkan terdakwa dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 1,000,-(seribu rupiah)
Dalam
kasus ini dimana yang menjadi terdakwanya adalah, hakim memutuskan sebagai
berikut
1. Menyatakan Terdakwa PASKAH SAHPUTRA
BASKAMI SITEPU Als ABANG bersalah melakukan tindak pidana “Perlindungan Anak”
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa
PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG berupa pidana penjara selama 4 (empat)
tahun dikurangi selama dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan,
dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
Subsidair 2 (dua) Bulan Kurungan.
3. Menyatakan barang bukti berupa :
-
1
(satu) stel pakaian seragam SMP, baju putih dan rok biru 1 (satu) buah bantal
busa lapir kain warna kuning bercorak kembang, 3 (tiga) bungkus kacil tisu bash
Merk Magic
4. Menetapkan terdakwa dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah)
Analisa
kasus
Atas
uraian surat dakwaan tersebut diatas, berikut ini akan dipaparkan penjelasan
dalam konteks tindak pidana terhadap anak setelah lahirnya Undang-undang Nomor
23 Tahaun 2002 tentang Perlindungan Anak.
a.
Ketentuan
umur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 dalam pasal 1 ayat (I) menyatakan
anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas tahun), termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
b.
Jenis-jenis
tindak pidana kekerasan terhadap anak dibawah umur menurut Undang-undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan anak, pasal 13 menyatakan :
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan
orang tua, wali atau pihak maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual.
c. Penelantaran.
d. Kekejaman, kekerasan, penganiayaan
e. Ketidakadilan
f. Perlakuan salah lainnya
(2) Dalam hal orang tua, wali atau
pengasuh anak dalam bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Dalam
perkara Nomor : 737/PID.B/2013/PN.Bks. dengan tindak pidana Pencabulan terhadap
anak dibawah umur yang dilakukan oleh anak dibawah umur yaitu terdakwa PASKAH
SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dari fakta yuridis penanganan perkara anak
dibawah umur atas nama PASKAH SAHPUTRA dilapangan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dapat dianalisis cara penanganannya yaitu penyidik dikepolisian
Bekasi tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan hukum khusus yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seharusnya penyidik
yang ditunjuk menangani perkara anak dibawah umur yang mempunyai kemampuan
tertentu yang berbeda dengan penyidik lainnya, dengan keahlian khusus yang
dimiliki akan dapat lebih membuat serangkaian tindakan penyidikan terarah dalam
bentuk upaya perlindungan hukum bagi tersangka anak dibawah umur. Dalam proses
penahanan dalam kasus tersebut yang dapat dianalisa mengenai jangka waktu
penahanan baik pada tingkat penyidik, penuntutan maupun persidangan.
Dalam proses penahanan yang dilakukan
pihak penyidik sudah sesuai dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak yang dimana penahanan dalam tingkat penyidik hanya boleh selama
20 (dua puluh hari) hari dengan perpanjangan 10 (sepuluh) hari, jadi dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari pihak penyidik harus menyerahkan berkas perkara yang
bersangkutan pada Jaksa Penuntut Umum.
Terhadap sel penahanan khusus anak
yang tidak dimiliki oleh Kepolisian merupakan masalah intern pihak kepolisian
dalam memberikan pelayanan hukum dengan fasilitas yang tidak memadai, akan hal
ini hendaknya pihak kepolisian dapat lebih mengupayakan disediakannya sel
khusus pada anak dibawah umur dilingkungan Rumah Tahanan Kepolisian. Perlakuan
pada saat dilakukannya penangkapan, penggledahan, penyitaan, penahanan dan
pemeriksaan terhadap anak tidak berbeda jauh dengan orang dewasa. Dalam hal
melakukan pemeriksaan terhadap anak dibawah umur penyidik tidak mungkin
menciptakan suasana kekeluargaan hanya dengan tidak memakai atribut karena
tujuan utama pemeriksaan yaitu menemukan unsur melawan hukumnya dengan
menekankan cara teknis tersebut.
Pada proses hukum diKejaksaan Negeri Bekasi
belum ada Jaksa Penuntut Umum anak, dengan tidak adanya Jaksa Penuntut Umum
khusus maka tindakan hukum bagi tersangka Anak dibawah umur diperlakukan sama
dengan tersangka orang dewasa, Kejaksaan Negeri Bekasi tidak mempunyai sel
khusus anak dirumah tahanan Negara, tempat penahanan bagi tersangka
anakbiasanya dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu Jakarta Timur.
Dalam
pasal 46 Undang-undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan tentang wewenang Penuntut Umum untuk
melakukan penahanan selama 10 (sepuluh) hari dengan perpanjangan selama 15
(lima belas), jadi selama 25 (dua pulih lima) hari penuntut umum harus
melimpahkan perkara anak ke Pengadilan Negeri.
Pada proses dipemgadilan negeri Bekasi
tidak mempunyai hakim khusus anak, penanganan perkara anak dibawah umur
dilakukan oleh hakim lain yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri Bekasi
mempunyai wewenang penuh untuk menentukan siapa hakim yang khusus menangani
perkara anak dibawah umur dengan Penetapannya.
Dalam proses penahanan selanjutnya hakim
juga dapat mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Dalam kasus dengan No.
757/PID.B/2013/PN.Bks hakim telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam
Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang No. 3 Tahun 1997
Tentang pengadilan Anak, wewenang hakim dalam melakukan penahanan adalah 30
(tiga puluh) hari, hal ini diatur dalam pasal 47 Undang-undang No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak.
Selama persidangan berlangsung di
Pengadilan Negeri Bekasi hampir sebagian telah menerapkan ketentuan hukum acara
yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
dimana hakim ditunjuk untuk memimpin perkara anak dibawah umur atas nama
tersangka PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG adalah bukan hakim tunggal melainkan melainkan majelis, padahal menurut
ketentuan pasal 11 Undang-undang Pengadilan Anak seharysnya dilakukan oleh
hakim supaya dapat diselesaikan dengan lancar, hakim tunggal lebih bertanggung
jawab secara pribadi, dan supaya anak tidak menjadi bingung.
Sidang dibuka oleh hakim dan dinyatakan
tertutup untuk umum didahului dengan penyampaian Laporan Penelitian
Kemasyarakatan pembacaan surat dakwaan, pembelaan dari tersangka dakwaan, dan
pemeriksaan saksi dan alat bukti serta terdakwa, pembacaan tuntutan dan
penjatuhan putusan sanski hukuman. Putusan Hakim perkara anak dibawah umur
telah secara benar mempertimbangkan hal-hal yang bersesuaian dengan diri
tersangka yang dapat dilihat dari isi putusan. Ketentuan ini sudah sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Pengadilan Anak.
Hakim menjatuhkan putusan sesuai
dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tersangka terbukti dengan sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan primer pasal 82
Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat ke-1
KUHP. Yang unsur-unsurnya :
1.
Unsur
barang siapa
Unsur barang siapa menunjuk pada objek
hukum orang yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Subjek hukum
pidana dapat dibedakan menjadi Rechtsperson (badan hukum) dan naturlijk peron
(yang perorangan). Syarat untuk dapat dipidananya seseorang sebagai pelaku
tindak pidana adalah adanya unsur kesalahan dan pertanggungjawaban. Untuk dapat
dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana maka orang tersebut haruslah
orang yang sehat jasmani dan rohani, tidak ada alasan pemaaf, pembenar maupun
penghapus pidana
Berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan ternyata benar bahwa terdakwa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum dan tidak ada alasan pembenar, pemaaf maupun penghapusan pidana.
Sehingga unsur barangsiapa terbukti secara sah menurut
hukum.
2.
Unsur
dengan sengaja
Unsur
dengan sengaja diartikan bahwa pencabulan terhadap korban SHAFINA DHILA adalah
dikehendaki oleh pelaku (terdakwa) PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG
atau termasuk dalam niat sipelaku dan untuk mengetahui niat sipelaku dapat
dilihat dari sifat dan cara terdakwa melakukan perbuatan atau btindak pidana
dilakukan.
Perbuatan
terdakwa mencabuli korban terkandung dengan unsur sengaja akan dilihat pada
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sepeti terurai dibawah ini.
Berdasarkan fakta-fakta yang terugkap
dipersidangan ternyata benar bahwa Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als
ABANG pada hari selasa tanggal 14 Mei 2013 sekitar jam 18.00 Wib. Bertempat di
Rumah kediaman Terdakwa I di Bekasi telah melakukan pencabulan terhadap anak
dibawah umur.
Bahwa
akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban SHAFINA DHILA selaput dara
(hymen) terdapat luka robek pada arah jam satu luka dasar, arah jam tiga tidak
sampai dasar, dan arah jam 11 sebelas luka tidak sampai dasar sesuai dengan
hasil Visum et Revertum Rumah Sakit Umum Daeah Kota Bekasi Nomor
040.04/023-03365690/V/2013/RM TANGGAL 17 Mei 2013 yang dibuat dan ditandatangani
mengingat sumpah jabatan oleh dr. R. PANDJI SETIAWAN, Sp.OG dengan kesimpulan
bahwa selaput dara (Hymen) Non-Intak (tidak utuh), kemungkinan disebabkan oleh
trauma benda tumpul sebagai luka lama.
Perbuatan
terdakwa tersebut dilakukan secara sadar dan terdakwa mengetahui bahwa pada
saat dilakukannya pencabulan Terdakwa mengatakan “Jangan berisik nanti didengan
tetangga dan diaduin ke Polisi” apabila teorin ini dihubungkan dengan teori kesengajaan
maka jelas Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG menghendaki
pencabulan tersebut dan atau setidak-tidaknya mengetahui apabila seseorang
dicabuli maka akan menyebabkan kesakitan (sadar akan kepastian)
Sehingga unsur
dengan sengaja terbukti secara sah menurut hukum.
Bab V
KESIMPULAN
DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diseluruh materi yang diuraikan mengenai permasalahan yang
dikemukakan tentang Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak dibawah umur, dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Korban
tindak pidana pencabulan selain mengalami penderitaan fisik juga mengalami
penderitaan mental yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan
yang dialami korban tindak pidana pencabulan tidak singkat untuk bisa
memulihkan, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan
terhadap korban tindak pidana pencabulan yang diimplementasikan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai produk hukum untuk memberikan keadilan bagi korban.
Dalam konteks
perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun revresif
yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak
hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang
dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara
memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan,
pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dan perlindungan hak asasi
manusia serta instrument penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis dibalik
pentingnya korban kejahatan (keluarganya)
memperoleh perlindungan..
2. Pembuktian
dan Penerapan dalam putusan No. (757/PID.B/2013/PN.BKS) Berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap dipengadilan, maka terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal
82 Uu No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak Jo Pasal 55 (1) KUHP
SARAN
1. Dalam
hal Perlindungan Hukum terhadap anak dibawah umur Seharusnya bukan hanya
diberikan kepada Korban Pencabulan tetapi juga kepada Terdakwa, Baik korban
maupun terdakwa merupakan Anak yang masih dibawah umur menurut Undang-undang
Perlindungan Anak dan Undang-undang Pengadilan Anak. Dan penjatuhan pidana
perjara terhadap terdakwa Pasal 82 UUPA jo. Pasal 55 (1) KUHP saya rasa sudah
memberikan keadilan bagi pihak korban, Tidak Diskrminatif dan tentunya akan
memberikan efek jera kepada Pelaku dan Terjalinnya Kepastian Hukum.
2. Setelah
dibuktikan kesalahan Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dan diterapkannya penjatuhan
Pidana Penjara selama 4 (empat) tahun sesuai dengan Pasal 82 UU Perlindungan
Anak jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dan peraturan perundangan lainnya maka akan
memberikan efek jera kepada pelaku mengingat pelaku masih dibawah umur dan
masih berhak mendapatkan Perlindungan Hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Barda
Nawawi, Masalah Pegegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
(Bandung: PT. Citra Aditya, 2001)
Arif
Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademi Prassido, 1993)
J.E
Sahetapy, Viktimologi Sampai Bung Rampai, cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987)
Barda
Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet Pertama, (Bandung:Citra Aditya
Bakti, 1996)
Sunaryati
Hartono, SH., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:2005)
Wagiati
Soetodjo, Hukum Pidana Anak
Edward
Elgar, Indonesia, Undang-undnag Pornografi, t.l.n No. 4928, ps. 1 ayat (4)
H, Ahmad
Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangakatan di Indonesia
P.A.Lamintang.
Dasar-dasar Hukum Pidan Indonesia. (Bandung: Cita Aditya Bakti)
Adami
Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005)
Romli
Atmasasmita, Kapita selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar
Maju, 1995)
Laden
Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, cet 2
(Jakarta: Siunar Grafika, 2004)
Topo
Santoso, Seksualiatas Dan Hukum Pidana, (Jakarta : IDN-HILL-CO, 1997)
Meljatno,
Asas-asas Hukum Pidana
Eriyantouw
Wahid, Keadilan Resroatif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana.
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, cet 8, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Soerjono
Seokamto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, acara pidana, acara perdata, cet 1.
(Jakarta : Visimedia, 2008)
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang
No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
[1]
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 56
[2]
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademi Prassindo, 1993), hlm.
63
[3]
J.E Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987), hlm. 36
[4]
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Pertama, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28
[5]
Ibid., hlm. 27
[6]
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 59
[7]
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: SinarBaru, 1983),
hlm. 83
[8]
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju
Satu Sistem hukum Nasional hlm 56
[9]Wagiati
Soetodjo, Hukum Pidana Anak hal. 1
[10]
Tribowo Hersandy Febriyanto, Indonesia, Undang-undang Kesejahteraan Anak, UU No
4, L.N No. 32 Tahun 1979, T.L.N No. 3143, ps. 1 ayat (2).
[11]
Chandra Ningsih, Ratih, Indonesia, Undang-undang Pengadilan Anak, UU No 3, L.N.
No. 3 Tahun 1997, T.L.N No. 3668, ps. 1 ayat (1).
[12]
Tribowo Hersandy Febriyanto Indonesia, Undang-undang Hak Asasi Manusia, UU No.
39, L.N. No 165 Tahun 1999, T.L.N. No. 3886, ps. 1 ayat (5).
[13]
Soerjarno Soekanto, Indonesia, Undang-undang Perlindungan Anak, UU No 23, L.N
No. 109 Tahun 2002, T.L.N. No. 4235 ps. 1 ayat (1).
[14]
Edward Elgar, Indonesia, Undang-undang Pornografi, UU No 44, L.N. No. 181Tahun
2009, T.L.N No. 4928, ps. 1 ayat (4).
[15]
H, Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia hal 93
[16]
P.A.F Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung. : Citra Aditya
Bakti,1997) hal, 193
[17]
Ibid hal 194.
[18]
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai
Kesopanan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 64
[19]
Ibid., hal. 66
[20]
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung :
Mandar Maju, 1995), hal. 108
[21]
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, cet 2.
(Jakarta : Siunar Grafika, 2004), hal. 50
[22]
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta : IND-HILL-CO, 1997), hal.
67
[23]
Ibid hal. 68
[24]
Ibid hal 56
[25]
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana hal 54
[26]
Ibid hal 54
[27]
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, Hal 46
[28]
Ibid, Hal 48
[29] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Cet. 8, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal. 186.
[30]
Andi Hamzah, op, cit., hal 57
[31]
Ibid. hal 57
[32]
Pasal 289 KUHP
[33]
Undang-undang Perlindungan Anak. Ps 82
[34]
Soerjano Soekamto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, acara pidana, dan perdata,
cet 1. (Jakarta : Visimedia, 2008), pasal 13 KUHAP