Senin, 01 September 2014

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN



“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN”
Putusan (No. 757/PID.B/2013/PN.Bks)

SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan
Untuk Menyelesaikan Program Strata Satu (1) Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular

OLEH   

                                                       ANGELUS ANDI MANURUNG
No. Pokok : 20103124330050005


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MPU TANTULAR
JAKARTA
2014




LEMBAR PERSETUJUAN SKRISI

Nama                              :    ANGELUS ANDI MANURUNG
NIM                                :   20103124330050005
Jurusan                            :    Hukum Pidana
Judul Skripsi                   :     “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH     UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN”


                                                        Jakarta,                                                     2014
                                                             
                  Mengetahui                                                         Menyetujui
    Ketua Program Studi Ilmu Hukum,                             Pembimbing Materi (I),


          Mandus Marpaung, SH, MH                                  Hotman Sitorus, SH, MH

                                                                                          Pembimbing Tenis (II)

                                                                                           P.R Manalu SH, MH









LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI


Nama                             : Angelus Andi Manurung
No. Pokok                      : 2010312433005005
Program Studi                : Ilmu Hukum
Program Kekhususan     : Hukum Pidana
Judul Skripsi                   : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN ( Analisis Putusan Nomor. 757/PID.B/2013/PN.Bks)



TIM PENGUJI

1.                                                                                      Penguji I
2.                                                                                      Penguji II
3.                                                                                      Penguji III





                                                       Diketahui,
                                            Dekan Fakultas Hukum
                                          Universitas Mpu Tantular,




                                  Dr. Purbandari, SH, M.HUM, M.KN



LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi yang telah saya susun sebagau salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular seluruhnya merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian – bagian tertentu dalam penulisan Skripsi yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari, ditemukan seluruh atau sebagian Skripsi ini bukan hasil karya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian – bagian tertentu saya bersedia menerima saksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi – sanski lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



                                                                                              Jakarta,

                                                                                              Angelus Andi Manurung











KATA PENGANTAR

         Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Rahmatnya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN”
          Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana strata satu pada Fakultas Hukum Universits Mpu Tantular Jakarta.
          Penulis dalam menulis skripsi telah berusaha dengan segala kemampuan yang ada menyusun dan menyelesaikan penulisan skripsi ini, akan tetapi karena terbatasnya kemampuan, baik waktu maupun pengalaman, dengan demikian penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penulis dapat mengerti dan mengetahui kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
        Dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung maupun membantu, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1.      Tuhan YESUS yang telah memberi umur yang panjang dan keteguhan dalam mengerjakan skripsi ini.
2.      Bapak Prof. Dr. Ratlan Pardede, M.M selaku Rektor Universitas Mpu Tantular Jakarta
3.      Ibu Dr. Purbandari. S.H.,M.HUM., M.KN selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular Jakarta,
4.      Bapak Hotman Sitorus, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I (Materi) yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5.      Bapak P.R Manalu S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II (Teknisi) yang dengan penuh mengarahkan dan memberikan ilmu serta membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga terselesaikan dengan baik.
6.      Untuk kedua Orang Tuaku Sahat Manurung dan Tiomina br. Sitorus yang telah melimpahkan kasih saying, pengorbanan, dukungan secara moril maupun materiil kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan study di Fakultas Hukum Unuversitas Mpu Tantular, Jakarta.
7.      Untuk Abangku Janter Manurung dan Kakak-kakakku Hetdi Manurung dan Elnida Manurung yang telah memberikan Doa dan Semangat kepada Penulis.
8.      Kepada Bapa Udaku Juprianus Manurung, yang telah membimbing dan membina selama perkuliahan dan selama penulisan skripsi yang telah banyak memberi materi kepada penulis dan sudah bisa menjadi Inspirasi buatku.
9.      Teman-teman Seperjuangan Fakultas Hukum 2010, Parsaoran Nadapdap, Gerry Detriady, Agus Sidabutar, Lily Silaban, Nur Handayani untuk kebersamaannya selama empat tahun telah kita habiskan untuk berbagi pengalaman, bercengkrama dalam suka dan duka serta untuk Martha E. Sirait saya mengaturkan Terima Kasih atas perhatian dan kepedulian nya selama kuliah.
10.  Perpustakaan Badan Pembinaan Hukum Nasional yang telah mengijinkan penulis untuk pengumpulan dan pencarian data-data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

          Kepada semua pihak yanag telah membantu, mendukung secara moril maupun materiil, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya dan berdoa Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkatnya.
           Akhir kata penulis mengharapkan semoga penulis ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pihak yang membaca dan memerlukan.




                                                           Jakarta,                                      2014
                                                                     



                                                                      Angelus Andi Manurung















ABSTRAK
A.    ANGELUS ANDI MANURUNG  (NIM : 20103124330050005)
B.     Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Putusan Nomor 757/PID.B/2013/PN.Bks)
C.     70 Halaman
D.    Kata Kunci : Pencabulan, Tindak Pidana Anak Dibawah Umur
E.     Tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan serta mengetahui bagaimana pembuktian dan penerapan hukum terhadap anak dibawah umur dan sejauh mana proses peradilan dapat memberikan rasa keadilan terhadap korban pencabulan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Penelitian Normatif. Hasil penelitian skripsi ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan sesuai dengan putusan Nomor. 757/PID.B/2013/PN.Bks
Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG memang benar telah mempunyai niat jahat dalam melakukan Tindak Pidana Pencabulan terhadap korbannya yang masih dibawah umur, sehingga hakim dalam pertimbangan telah menjatuhkan hukuman Pidana Penjara selama 4 (empat) tahun dan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan, dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) Bulan kurungan telah melakukan tindak pidana “Perlindungan Anak” dengan memperhatikan pasal 82 UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan perundangan lain yang bersangkutan.
F.      18 buku (1981-2008) dan 7 Per Undang-undangan (1979-2008)

Hotman Sitorus, S.H., MH                                                       (                                      )

P.R Manalu, S.H., H.M                                                             (                                     )
















DAFTAR INI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PNGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Perumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.    Kegunaan Penelitian
E.     Keranga Konseptual
F.      Metode Penelitian
G.    Sistematika Penelitian

BAB II    TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
A.    Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
B.     Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan
C.     Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
BAB III    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN.
A.    Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur.
B.     Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak Di Bawah umur Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku Di Indonesia.
C.     Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur.
1.      Langkah-langkah Pencegahan
2.      Langkah-langkah penanggulangan Jika Terjadi Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur.

BAB  IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
A.    Analisis Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencabulan.
Kasu
B.     Analisis Putusan No. 757/PID.B/2013/PN.BKS
1.      Kasus Posisi
2.      Dakwaan dan Tuntutan Jaksa
3.      Putusan
4.      Analisis

BAB V PENUTUP
A.    KESIMPULAN
B.     SARAN

















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah 
         Setiap tindak pidana kriminal disamping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban dapat berupa pelaku kriminal, maupun korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain. Korban tindak pidana merupakan pihak yang menderita dalam suatu peristiwa pidana. Begitu juga dengan korban pencabulan yang menderita akibat tindakan pidana yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu kiranya diketahui sejauh mana korban telah memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.
        Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang telah menjadi korban tindak pidana.[1] Segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan tersebut dapat dilakukan dengan cara menegurangi penderitaan fisik dan penderitaan mental korban.
      Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohanian sebagai akibat dari tindakan nya sendiri maupun tindakan dari pihaka lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan.[2] Korban dapat berupa perorangan maupun kelompok, korban dapat juga berupa suatu badan hukum.ketika suatu peristiwa terjadi, aturan hukum seringkali memfokuskan diri untuk menghukum pelaku kejahatan sehingga seringkali korban dari kejahatan tersebut terabaikan. Padahal korban juga patut untuk diperhatikan karna pada dasarnya korban merupakan pihak yang cukup dirugikan dalam suatu tindak pidana.
      Dampak kejahatan menimbulkan korban dan kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri, maupun oleh pihak lain secara tidak langsung.[3] Yang terakhir ini bisa tergantung pada sanak saudara ataupun orang-orang lain yang menggantungkan hidupnya langsung.
        Begitu pula dengan kejahatan pencabulan yang dinilai dapat merendahkan derajat kaum wanita serta merusak harkat dan martabatnya. Padahal wanita aadalah ibu dari umat manusia, karna dari Rahim wanitalah anak manusia dilahirkan.
        Di KUHP Indonesia, kejahatan dalam bentuk pencabulan ini diatur dalam pasal 289 KUHP. Pasal ini diatur dalam BUKU II BAB XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun pasal 289 KUHP menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman Kekerasan  atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun.
Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat artinya “Keji, kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkontak dengan sistem peradilan pidana karena:
1.      Disangka, dinyatakan atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum.
2.      Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran yang dilakukan orang/kelompok terhadapnya, atau
3.      Telah melihat, mendengar, merasakan atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
         Hakikat kejahatan seharusnya dilihat sebgai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak saja kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik.
          Untuk memperhatikan kepentingan korban pencabulan dalam penjatuhan pidana, bukan sekedar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekedar pertimbangan akal karna logika mengatakan demikian, tetapi jauh lebih dari itu adalah juga kepentingan korban tersebut.
         Upaya perlindungan hukum terhadap korban pencabulan menyangkut kebijakan atau politik hukum pidana yang ingin diterapkan , yaitu bagaimana membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidna yang baik.[4] Pada akhirnya upaya perlindungan dan penanggulangan korban darin kejahatan dapat tercapai. Pengertian kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal.[5]
        Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu,[6] serta kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[7] Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dan yang dapat mengekspresikan apa-apa yang terkandung dalam masyarakat demi tercapainya suatu perindungan hukum terhadap korban perkosaan tidak terlepas dari faktor hukumnya.
         Dalam hukum fositif, undang-undang yang mengatur masalah perlindungan saksi dan korban adalah Undang-undang Nomor 13 tentang Perlindungan terhadap Korban saksi dan korban. Namun, undang-undang tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk perlindungan korban sehingga harus dicari beberapa aturan lain dalam hukum positif yang medukung adanya bentuk perlindungan korban secara kongkrit. Diantaranya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Hak Asasi Manusia serta beberapa aturan lainnya.
       Dalam beberapa aturan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam bentuk perlindungan korban diantaranya restitusi, kompensasi, konseling dan rehabilitasi.
      Upaya perlindungan korban sebenarnya sangat penting. Karena di samping dapat mengurangi penderitaan korban atas tindak pidana yang dialaminya, juga dapat mencegah terjadinya korban yang berkelanjutan, sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat kriminalitas.
Secara filosofis bahwa anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus perjuangan, seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, oleh karena itu kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi kepentingan yang harus diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah atau yang berkonflik dalam hukum. Anak sebagai generasi muda merupakan upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan Negara, namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat. Dan perbuatan sebatas kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus pada perbuatan kriminal yang membutuhkan penanganan secara serius khususnya perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.
               Dalam rangka kehidupan bermasyarakat setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan timbal balik dan kepentingan yang sangat terkait antara yang satu dengan yang lain nya yang dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya segi agama, social budaya, politik dan Termasuk pulasegi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkn konflik kepentingan yang pada akhirnya melahirkan apa yang dinamakan tindak pidana. Untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut , maka dibuat suatu aturan atau norma hukum yang wajib ditaati. Terhadap orang yang melanggar aturan ukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan diambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedangkan bagi seseorang ang telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi sanski pidana berupa hukuman badan, baik penjara, kurungan atau denda.
Sebagaimana undang-undang pada umumnya, Undang-undang perlindungan anak diperlukan guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak, mengingat :
1.      Anak sebagai amanat dan karunia Tuhan yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
2.      Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan
3.      mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara dimasa depan
4.      Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun social dan mempunyai akhlak yang mulia.
5.      Pada kenyataannya masih terdapat banyak anak yang:
a.       Belum terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi
b.      Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, apalagi memadai
Selain itu undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) juga diperlukan untuk menegaskan adanya kewajiban bagi Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan anak, mengingat:
1.      Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam berbagai peraturan Perundang-undangan yang lain, agar dapat menjamin pelaksanaanya secara konprehensif dan tepat penanganan serta sesame yang harus dilakukan oleh Negara, pemerintah, masyarakat keluarga dan orangtua anak.
2.      Perlu adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak menjadi salah asuh, salah arah maka perlu ditunjukkan juga kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh anak.

Seluruh Negara eropa memiliki perarutan perundang-undangan tentang juvenile justice yang secara umum mendasarkan pada pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Dengan pendekatan ini, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana serta segala tindakan yang akan diambil oleh Negara dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan  terbaik bagi anak.
Terdapat lima macam pedekatan yang bisa digunakan dalam menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu:
1.      Pendekatan yang murni yang mengedepankan kesejahteraan anak
2.      Pendekataan kesejahteraan dengan intervensi hukum
3.      Pendekatan dengan menggunakan atau berpatokan pada sistem peradilan semata
4.      Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman dan
5.      Pendekatan penghukuman yang murni bersifat retributive
Adanya kelima bentuk pendekatan tersebut, tidak terlepas dari pertentangan antara dua pendekatan dominan dalam menangani juvenile delinquency, yaitu pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan, dan juga mencerminkan perubahan atau dinamika pemikiran masyarakat dalam memberikan respon terhadap pelaku pelanggaran usia anak. Jika pendekatan kesejahteraan mempresentasikan keinginan pengadilan untuk mendiagnosa masalah utama yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku pelanggaran dan memperlakukan anak tersebut seperti mengobati anak, pendekatan keadilan mempresentasikan perhatian tradisional dari hukum yang bertujuan menghukum pelaku pelanggaran menujut derajat atau keseriusan atas akibat yang ditimbulkannya.
Pembangunan dibidang hukum merupakan masalah mendesak yang perlu ditindaklanjuti, mengingat itu konfleknya permasalahan-permasalahan hukum termasuk maraknya kejahatan/kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan Teknologi. Pemerintah Indonesia melalui badan dan atau instansi-instansi beserta aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta lembaga Pemasyarakatan) diharapkam mampu melaksanakan upaya penegakan ukum yang nyata dan dapat dipertangung jawabkan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku agar tatanan kehidupan masyarakat dan berbangsa yang aman dan tertib dapat dicapai semaksimal mungkin. Upaya bukanlah upaya hukum sederhana dan cepat seperti yang dibayangkan, kana didalamnya terkait begitu banyak factor yang empengaruhinya.

Masalah pokok terkait dengan penegakan hukum sebenarnya terletak pada factor-faktor yang mempengaruhinya . Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut :
1.      Faktor hukumnya sendiri
2.      Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang mau membentuk maupun yang menerapkan hukum
3.      Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4.      Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5.      Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup
                Minimnya maupun media elektronik banyak pemberitaan mengenai kesusilaan yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia
Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Undang-undang memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang terdapat dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada pasal 3:
1.      Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2.      Rasa aman;
3.      Keadilan;
4.      Tidak diskriminatif; dan
5.      Kepastian hukum.
Konvensi hak anak juga memberikan jaminan perlindungan (Khusus) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.hal ini terkandung dalam 37 mengenai penyiksaaan dan perampasan kebebasan.secara ringkas menyangut “Larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan. Prinsip-prinsip penanganan yang tepat, pemisahan dari tahanan dewasa, hubungan dengan keluarga dan akses terhadap bantuan hukum serta bantuan lainnya,”
      Berdasarkan hal tersebut diatas, bila dikaitkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka anak-anak yang yang berhadapan dengan hukum baik sebagau korban maupun sebagai pelaku wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintahan dan tidak boleh ada diskriminasi. Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana berhak untuk mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupn secara mental spiritual dan sosial, selain itu privasinya baik untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab pemerintah dan perkara yang dihadapinya, begitu pula sebaliknya terhadap seorang anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
        Terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak yang perlu ditangani dengan seksama melalui sistem peradilan pidana anak. Sistem yang dimaksud adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas [8],  yang terdiri dari:
a.       Substansi Hukum (Legal Subtance) berkenaan dengan isi/atau materi hukum yang mengatur tentang peradilan anak.
b.      Struktur Hukum (Legal Structure) menyangkut badan/lembaga yang menangani peradilan anak, yang terdiri dari : Badan Peradilan,Kejaksaan,Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, Penasehat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, Lembaga Sosial Masyarakat, dll.
c.       Budaya Hukum (Legal Culture) berkaitan dengan resepsi dan aspirasi masyarakat tentang hukum yang sangat ditentukan oleh tata nilai, keyakinan, atau sistem sosial, politik dan ekonomi yang hidup dalam masyarakat.
Sistem peradilan anak itu sendiri sebenarnya sudah baik, namun baikburuknya sebuah sistem tetaplah terpulang karena kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum (the best interest of the Children). Salah satu instusi pemerintahan yang relative banyak berhadapan langsung dengan anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau instusi pengadilan, hal ini karena kasus-kasus pidana yang dihadapi anak muaranya akan diselesaikan di Pemgadilan. Pada saat penyelesaian kasus dipengadilan inilah anak yang menjadi korban tindak pidana dan pelakunya berinteraksi dengan hakim baik secara langsung maupuntidak langsung. Selama proses peradilan tersebut hakim di Pengadilan mempunyai kewajiban untuk melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak sebagai pelaku tindak pidana.
Dalam undang-undang Pengadilan Anak, telah ditentukan pembedaan perlakuan didalam hukum acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara anak pada siding Pengadilan Anak. Pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh KUHP, yang penjatuhan pidananya ditentukan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dberlakukan terhadap anak.
Terkait dengan penjatuhan hukuman, bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan pidana pokok (Pidana pokok, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan) dan pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran gantu rugi (Pasal 23, UUPA) dan tindakan yang dapat dijatuhkan adalah:
a.       Mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh,
b.      Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, dan
c.       Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan, yang bergerak dibidang Pendidikan, Pembinaan, dan Latihan Kerja (Pasal 24).
                Didalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya telah diatur ketentuan mengenai sanski pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dengan kekerasan, namun pada kenyataannya kejahatan ini masih saja terjadi di banyak tempat dan tersembunyi dalam kehidupan masyarakat. Tidak jarang kasus tersebut memang lolos dari jeratan hukum yang berlaku. Bahkan ada yang berhenti sampai pada tingkat pemeriksaan oleh kepolisian maupun kejaksaan sehingga tidak sampai di proses pengadilan. Untuk mewujudkan keberhasilan penegakan hukum dalam memberatas maraknya kasus pencabulan dengan kekerasan sangat diperlukan pemantapan koordinasi kerjasama yang serius baik dari aparat kepolisian, aparat kejaksaan maupun hakim-hakim di pengadilan. Putusan hakim memeriksa kasus pencabulan dengan kekerasan diberbagai pengadilan berfariasi. Bahkan ada kasus pencabulan dengan kekerasan yang hanya di vonis main-main dengan hukuman penjara enam bulan. Hal ini dapat dibenarkan karena dalam batas-batas maksimum dan minimum (satu hari sampai duabelas tahun) tersebut hakim bebas untuk bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat.
              Dalam menyelenggarakan system penyelenggara hukum pidana (Criminal Justice sistem) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena putusan didalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, lebih-lebih kalo putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “Kontroversial” sebab kebenaran dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung darimana kita memandangnya.
               Persoalan pidana ini sangat kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik yuridis maupun sosiologis. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan orang pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (Natuurlijke personen)
Perbuatan orang tersebut adalah titik penghubung dan dasar pemberian pidana. Dipidananya seorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, namun untuk adanya pemidanaan diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Pada dasarnya seseorang telah melakukan suatu tindak pidana dapat dikenakan sanski apabila unsur-untur tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana harus dipenuhi antara lain adalah suatu perbuatan memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mampu bertanggung jawab. Tindak pidana pencabulan dengan kekerasan diancam dengan pasal 289 KUHP memutuskan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan kesusilaan, dengan pidana paling lama dua belas tahun” berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN (ANALISIS No.757/PID.B/2013/PN.Bks.)

B.     Perumusan Masalah
          Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tersebut maka masalahnya dapat di identifikasikan sebagai berikut :
1.      Bagaimana perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan tindak pidana pencabulan?
2.      Bagaimana pembuktian dan penerapan hukum terhadap tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak?

C.     Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagi korban tindak pidana kejahatan tindak pidana pencabulan.
b.      Untuk mengetahui pembuktian dan penerapan hukum terhadap korban korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak.n
/
D.    Manfaat Penelitian
a.       Bagi Peneliti
Guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Sarjana Strata I (S-1) Ilmu Hukum pada Universitas Mpu Tantular sekaligus untuk menambah dan memperdalam ilmu pengetahuan Hukum Pidana khususnya tentang pertimbangan hakim yang memuat sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan.
b.      Bagi Akademik
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang ilmu hukum pidana khususnya mengenai putusan hakim yang memutus pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana pencabulan sebagai kajian hukum pidana, serta diharapkan pula penelitian ini dapat menjadi wacana/referensi sebagi sumbangan pemikiran bagi para civitas akademika Universitas Mpu Tantular

E.     Kerangka Konseptual
Tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur merupakan pelanggaran atas kesusilaan dan norma agama dimana Tindak pidana pencabulan dengan kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu keamanan dan ketertiban hidup masyarakat. Untuk memberantas kejahatan ini pemerintah Indonesia melakukan upaya penegakan hukum melalui tahap-tahap pemeriksaan perkara yang dilakukan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pemeriksaan perkara tindak pidana kesusilaan dengan kekerasan pada tingkat pertama yang dilakukan kepolisian (Penyidik) setelah Berita Acara Pemeriksaan pelaku tindak pidana kesusilaan dengan kekerasan tersebut lengkap kemudian dilimpahkan kepada kejaksaan (Selaku penuntut umum yang berwenang mengajukan dakwaan dan penuntutan) untuk selanjutnya di proses di pengadilan.

Menurut Moelyanto
“Perbuatan pidana” sebagimana yang dijelaskan dalam bukunya Azaz-azaz hukum pidana menyamakan antara perbuatan pidana dengan istilah inggris “Criminal Act” Penyamaan ini akibat, atau dengan lain perkataan akibat yang dilarang oleh hukum. Kedua, karena juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan liabity atau responsibility.
                Pelanggaran pidana adalah istilah yang digunakan oleh H. Tirto Amidjaja dalam bukunya yang berjudul “Pokok pokok hukum pidana “
            
Menurut Van Bemmelem
Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila yang merugikan yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestafa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut
Paul Separovic menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan seseorag untuk menjadi korban.
1.      Factor personal, termasuk keadaan biologis ( Umur, Jenis Kelamin dan Keadaan Mental )
2.      Factor social, misalnya imigran, minoritas, pekerjaan, perilaku jahat, dan hubungan antar pribadi
3.      Factor situasional misalnya situasi Konflik, tempat dan waktu
Menurut Moch. Anwar
Memaksa bersetubuh dengan dia yakni dengan menggunakan paksaan terhadap seseorang bersetubuh dengan dia diluar perkawinan merupakan perbuatan menurut pasal 286 KUHP.


  1. Metode Penelitian
        Penelitian yang dilakukan digunakan beberapa metode yang digunakan untuk mendapatkan hasil yang subyektif mungkin. Untuk mendapatkan hasil penelitian tersebut diperlukan informasi yang akurat yang mendukung. Sehubungan degan hak tersebut, metode yng digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1.      Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan melakukan inventarisasi hukum positif.
Metode penelitian ini akan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pedoman pembahasan masalah, juga dikaitkan dengan masalah yang ada dalam praktek dan aspek-aspek social yang berpengaruh dimana ketentuan-ketentuan hukumnya merupakan ide dasar dari perlindungan terhadap korban tindak pidna pencabulan, serta melihat upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh korban tindak pidana pencabulan untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Secara dedukatif penelitian ini dimulai dengan menganalisis data sekunder dibidang hukum dapat dibedakan sebagi berikut.

a.       Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat, misalnya Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
b.      Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum primer yang dapat menunjang penulis skripsi ini dapat membantu melengkapi bahan hukum primer, misalnya tulisan ara ahli dan hasil para ilmuwan yang berbentuk makalah atau karya ilmiah.
c.       Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya Majalah, Koran, Internet dan Media-media lainnya.

2.      Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan berdasarkan peraturan Perundang-undangan.

3.      Tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap penelitian dilakukan dengan menghimpun data sekunder yang berupa:
a.       Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, misalnya KUHP, KUHAP, UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta peraturan perundang-undangan lainnya.
b.      Bahan Sekunder adalah tulisan para ahli dan hasil karya para ilmuwan yang  berbentuk makalah atau karya tulis dan,
c.       Bahan Tersier yaitu Majalah, Koran dan Media-media lainnya yang relavan dengan permalahan yang diteliti.



4.      Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tahap-tahap penelitian di atas, teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian ke perpustakaan untuk mendapatkan data sekunder dan studi dokumen baik melalui media cetak maupun media elektronik.

5.      Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif berarti bawha data dianalisis berdasarkan peraturan-peraturan yang relavan sebagi hukum positif. Sedangkan kualitatif yaitu merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus dan angka.

6.      Studi Lapangan (Field Research)
Yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung pada objek penelitian dalamhal ini adalah Pengadilan Negri Bekasi, gunanya adalah untuk mendapatkan data dan keterangan secara langsung yaitu dengan menganalisa Berkas Perkara secara langsung serta mencatat data-data yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini

  1. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan penelitian skripsi ini disusun sistematika sebagai berikut :

BAB  I:  Penulis Mengemukakan Tentang Latar Belakang, Rumusan Permasalah, Tujuan Penelitian,  Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Penulisan.
BAB  II :  Tinjauan Umum Tentang Anak Dibawah Umur Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan .
BAB III  : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan               
BAB  IV :   Analisis Hasil Penelitian.
BAB  V :  PENUTUP
              Dalam bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang merupakan ringkasan dari Penelitian.





















BAB II
A.    Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
1.      Pengertian Anak Dibawah Umur
Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan yang maha esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya[9]. Anak merupakan makhluk sosial ini sama dengan orang dewasa. Anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, Karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.
Anak harus kita jaga dan lindungi, dikarenakan :                                    
a.       Anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus
b.      Anak adalah sebagau potensi tumbuh kembang bangsa dimasa depan.
c.       Anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dai orang lain.
     Anak merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban daripada perbuatan buruk seseorang.
2.      Kategori Batasan Anak Dibawah Umur
Untuk mengetahui apakah seseorang itu termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada batasan yang mengaturnya, dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur tentang usia anak yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut.
a.       Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam kitab undang-undang hukum pidana yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 287 ayat (1) KUHP yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum mencapai 15 tahun.
b.      Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPer)
Didalam undang-undang Hukum Perdata yang dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang yang belum dewasa seperti yang tertuang pada pasal 330 KUHPerdata.
c.       Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak.
Didalam undang-undang ini pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum mencapai batas usia 21 (Dua Puluh Satu) tahun dan belum pernah kawin[10]. Dalam pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah dibawah usia dua pulus satu tahun dan belum pernah kawin.
d.      Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Di dalam undang-undang ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan “anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan Belas tahun) dan belum pernah kawin[11]. Dari penjelasan pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah seseorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapa belas tahun.
e.       Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1 ayat 1 (5) yang menyebutkan “anak sebagai manusia yang berusia dibawah 18 tahun (Delapan Belas) Tahun dn belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demo kepentingan nya[12]. Menurut pasal ini yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam kandungan sampai usia delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan[13].
Menurut pasal tersebut diatas bahwa yang dikategorikan sebagai anak ialah seorang yang berusia dibawah delapan belas tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan sebagai anak.
f.       Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan Belas) tahun[14]. Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini adalah belum berusia delapan belas tahun.
       Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi setiap perbedaan pemahaman tersebut, tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang dipersoalkan nanti.

B.     Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan
1.      Pengertian Pencabulan
Di dalam Pasal 289 KUHP yang dimaksud dengan pencabulan adalah Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun
hal pengertian pencabulan, para pendapat ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti yang dikemukakan Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar” dari pendapat tersebut, berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bemoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam asumsi mengatakan tentang percabulan ialah:
         ”Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk            persetubuhan dengan nya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air man[15]i.”
Dari pendapat R. Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita yang bukan istrinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur ain yaitu unsur keluarnya air mani, yang artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai, sehingga apabila seseorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat dikategorikan sebagi pencabulan.
         Asumsi yang tidak sependapat dalam hal mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungan perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “Pencabulan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya[16]
        Dari pendapat tersebut, ini membuktikan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan suatu bagian untuk mempermudah dilakukan nya suatu pencabulan. Menurut Arif Gosita, pencabulan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara laim sebagai berikut :
a.       Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang dicabuli oleh seorang wanita.
b.      Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
c.       Pencabulan diluar ikatan pernikahan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataannya ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan trlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan[17].
     Dari perumusan diatas menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai obyek dari suatu kekerasan seksual (pencabulan) karena perempuan identik dengan lemah, dan laki-laki sebagai pelaku dikenal dengan kekuatan nya sangat kuat dan yang dapat melakukan pemaksaan persetubuhan dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Fungsi dari kekerasan tersebut dalam hubungan nya dengan tindak pidana adalah sebagai berikut:
a.       Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini  memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada casual verband antara kekerasan dan ketidakberdayaan korban. Contohnya kekerasan pada pencabulan yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh juga pada pemerasan (Pasal 368) yang mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.
b.      Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada pasal 211 atau 212[18].
          Sedangkan ancaman kekerasan mempunyai aspek yang penting dalam pencabulan yang anatara lain sebagai berikut.
a.       Aspek obyekif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukan nya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna.
b.      Menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subyektif yang di objektifkan).
Aspek subyektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaan kekerasan sebab jika kepercayaan itu tidak timbul pada diri korban, tidak mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya[19].

         Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut mencerminkan kekuatan fisik laki-laki sebagai pelaku merpakan suatu faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan sebagai korban, sehingga laki-laki menampilkan kehebatan yang bercorak refresif yang menempatkan perempuan sebagai korban nya. Karakteristik utama dalam pencabulan ialah “bahwa pencabulan bukan terutama terutama bukan ekspresi agrsivitas (baca: kekerasan) dari seksualitas (the agressive expression of sexuality) akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu agresivitas (sexual expression of aggression)[20] Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pengertian pencabulan tertuang pada pasal 289 KUHP menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman Kekerasan  atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Dalam pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan antara lain :

a.       Korban pencabulan tidak harus seorang wanita, tanpa kualifikasi umur yang signifikan. Seharusnya wanita dapat dibedakan yang antara lain sebgaai berikut[21] :
1.      Wanita belum dewasa yang masih perawan.
2.      Wanita dewasa yang masih perawan.
3.      Wanita yang sudah tidak perawan lagi.
4.      Wanita yang belum bersuami.
b.      Korban mengalami pemaksaan pencabulan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan perlakuan pelaku.
Dalam perkembangan nya yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk pemaksaan pencabulan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam pencabulan akan tetapi anus dan dubur (pembuangan kotoran manusia) yang dapat menjadi target penccabulan yang antara lain sebagai berikut :
a.       Perbuatan nya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke dalam vagina) tetapi juga memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut.
b.      Memasukkan suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita.
c.       Caranya tidak hanya dengan  kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun diluar kehendak/persetujuan korban.
d.      Obyeknya tidak hanya wanita yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan dibawah umur juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (iluar kehendaknya) tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuan nya dibawah ancaman karena kekeliruan/ kesesatan/ penipuan atau karna dibawah umur[22].
           Pelaku pencabulan terhadap anak-anak dibawah umur yang dapat juga disebut dengan child molester, dapat digolongkan ke dalam (5) kategori, yaitu :
a.       Immature : para pelaku melakukan pencabuan disebabkan oleh ketidakmampuan mengidentifikasi diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa.
b.      Frustrated : para pelaku melakukan kejahatan nya (pencabulan) sebagai reaksi melawan frustasi seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak mereka sendiri (incest) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.
c.       Sociofathic : para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatan nya dengan orang yang sama sekali asing baginya, suatu tindakan yang kecendrungan agresif yang terkadang muncul.
d.      Pathological : para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol mdorongan seksual sebagai hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya (premature senile deterioration)
e.       Michellaneous : yang tidak termasuk semua kategori diatas[23].

2        Unsur-unsur Pencabulan.
Secara umum unsur-unsur pencabulan terdiri daari dua unsur yaitu unsur bersifat obyektif dan bersifat subyekti seperti yang tercantum dalam pasal 289.
1.      Pasal 289 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun
Dari bunyi pasal di atas, dapat dirincikan unsur-unsur sebagai berikut
a.       Unsur-unsur obyektif
1.      Perbuatan Pencabulan
Unsur-unsur pencabulan merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur, hala ini disebabkan apabila perbuatan pencabulan tidak terjadi maka perbuatan tersebut tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan percabulan. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh S. R. Sianturi bahwa untuk diterapkan pasal 289 adalah apabila kemaluan silaki-laki hanya sekedar menempel diatas kemaluan perempuan tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan tetapi pencabulan.
2.      Perbuatannya yaitu orang dewasa
3.      Objeknya yaitu orang sesamajenis kelamin

b.      Unsur Subyektif
Sedangkan unsur subyektifnya ada satu, yaitu yang diketahuinya belum dewasa atau patut diduganya belum dewasa.
Sama seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau persetubuhan terjadi antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi diantara dua orang yang sesama kelamin baik itu laki-laki sama laki-lakin (Sodomi atayu Homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (Lesbian)
Walaupun terjadi antara dua orang yang sesama kelamin, tetapi yang menjadi subyek hukum kejahatan dan dibebani tanggungjawab pidana adalah siapa yang diantara dua orang yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Pembebasan tanggungjawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan hukum.

Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencabulan
Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dari pasal 289 sampai pasal 296, dimana dikategorikan sebagai berikut:
a.       Perbuatan cabul dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan
Hal ini dirumuskan pada pasal 289 KUHP sebagai berikut:
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.
            Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman pidananya”.
            Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP adalah sama yakni Sembilan tahun penjara.
            Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnnya:
-          Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya.
-          Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut  untuk dapat mengelus dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.
b.      Perbuatan cabul dengan orang pingsan
Hal ini dimuat pada pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
“Di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.      barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.”
            Kata “pingsan” di sinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat”, sedang kata “tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah.
            Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar.
 “Pasal ini sama dengan pasal 290 KUHP
Menurut pasal  ini melakukan perbuatan cabul itu adalah dengan seseorang yang diketahuinya orang itu pingsan atau tidak berdaya.

c.       Perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun
Hal ini di muat pada pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.       Barang siapa melakukan perbuatan cabuldenagn seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2.      Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.”
Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak / remaja. Perlu diperhatikan bahwa pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan terhadap anak / remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi jika sejenis maka hal itu di atur pasal 292.
Kata “diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsure kesalahan (dolus atau culpa) terhadap umur yakni pelaku dapat menduga bahwa umur anak / remaja tersebut belum lima belas tahun.
b.      Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli
Hal ini di atur pada pasal 290 ayat (3) yang rumusannya sebagai berikut:
“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.      Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2.      Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas, yang bersngkutan belum waktunya untuk dikawin.
3.      Barang siapa yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul.
            Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya kecuali “pelaku”. Pelaku pada pasal 290 ayat (3) bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”.
c.       Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis
Hal ini diatur pada pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang belum dewasa, yang sejenis kelamin dengan dia, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”
            Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai “homoseks” atau “Lesbian”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia di muat arti homoseksual” dan “lesbian”:
“Dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedang “lesbian”: wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya; wanita homoseks.”
            Pada umumnya pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria sedang lesbian dimaksudkan bagi wanita. Kurang jelas kenapa terjadi hal ini karena dari arti sebenarnya “homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan karena untuk wanita disebut lesbian maka untuk pria disebut homo seksual.
            Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi dari orang dewasa yang homoseks / lesbian, karena sangat berbahaya bagi perkembangannya.
d.      Dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul
Hal ini diatur pada pasal 293 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
(1)   Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuanya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(2)   Penuntutan tidak dilakukan melainkan atas pengaduan orang yang terhadapnya kejahatan itu dilakukan.
(3)   Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan.”
          Tindak pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak pidana mennggerakkan seseorang itu adalah member hadiah atau berjanji akan memberi uang atau barang dan dengan jalan demikian pelaku lalu menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau digerakkan itu haruslah belum dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus di duganya bahwa orang itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau yang diketahuinya belum dewasa atau yang patut harus diduga bahwa ia belum dewasa tersebut adalah berkelakuan baik.”
e.       Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan.
Hal ini di atur pada pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
(1)   “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum dewasa atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya atau pun  dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, di ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
(2)   Di ancam dengan pidana yang sama:
1.      Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya atau orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya.
2.      Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat bekerja kepunyaan Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, lembaga social, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan kedalamnya.
Pada kasus “pelecehan seksual” yang selalu diributkan terutama antara atasan dengan bawahan pada hakikatnya dilindungi dengan pasal ini. Namun perlu disadari bahwa pembuktiannya bukan hal yang tidak rumit. Misalnya sorang direktur, pada suatu hari karena melihat pakaian sekretarisnya mencolok, akhirnya menimbulkan keinginan baginya untuk mengelus-elus pantat dan payudaranya. Karena tidak ada saksi lain atau alat bukti lain, bukan mustahil direktur tersebut menjadikan sekretaris tersebut sebagai tersangka.

Tindak pidana yang disebutkan dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan, yang telah disebut juga dalam pasal-pasal sebelumnya.
Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Demikian juga jika yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negri dan dilakukan  dengan orang yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga.
Menurut pasal ini maka perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu tindak pidana biasa.”
f.       Memudahkan anak dibawah umur untuk berbuat cabul
Hal ini di atur pada pasal 295 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
(1)   Di hukum:
1.      Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraanya, anak yang dibawah pengawasannya semuanya dibawah umur yang diserahkan padanya supaya dipeliharanya, dididik atau dijaganya, atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya dibawah umur yakni semua orang tersebut itu melakukan perbuatan cabul dengan orang lain;
2.      Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun barang siapa ddengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang di sebut pada butir 1 orang yang dibawah umur, yang diketahui atau patut dapat disangkanya bahwa ia dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan orang lain.
(2)   Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan pekerjaan atau kebiasaan, maka hukuman itu boleh ditambah sepertiganya.
Menyebabkan atau memudahkan itu harus dilakukan dengan sengaja, misalnya:
-          Seorang ibu membiarkan anaknya yang masih dibawah umur tanpa orang lain berduaan dengan seorang laki-laki dalam sebuah kamar.
Tindak pidana ini terdiri atas menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengan orang-orang tertentu yang tersebut dalam pasal ini dalam ke-2 orang lain yang disebut dalam ke-1 dirumuskan secara umum yaitu mereka yang diketahuinya atau patut harus menduganya belum dewasa. Menurut ayat kedua dari pasal ini tindak pidana tersebut ancamannya diperberat secara khusus jika dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan.”
g.      Mata pencaharian  mengadakan / memudahkan perbuatan cabul
Hal ini diatur pasal 296 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
“barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”
                  Kata “pekerjaanya” juga pada teks lain dipakai “pencahariannya”. Dimaksudkan bahwa yang bersangkutan menerima bayaran. Kata “sengaja” ditunjukan pada mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul. Kata “kebiasaan” berarti telah berulang-ulang dan hal ini harus dibuktikan.
            Dahulu, Hoge Raad (6 oktober 1942) menafsirkan bahwa menyewakan kamar untuk memberi  kesempatan melakukan perbuatan cabul dengan orang lain. Telah termasuk pengertian memudahkan. Pendapat demikian itu, pada saat ini sulit diterima. Karena dengan perkembangan dan kemajuan dunia, dunia bisnis telah pula berkembang dengan pesat. Sehingga persaingan semakin ketat dan upaya menngkatkan pelayanan juga tidak terlepas dari persaingan. Usaha / bisnis hotel, motel maupun penginapan. Sudah enggan menanyakan identitas tamunya. Telah dirasa cukup bila tamu tersebut mengisi formulir atau mengisi buku tamu, tetapi bagi motel hal yang demikian telah jarang diperlakukan, cukup kalau tamu tersebut telah membayar, selanjutnya yang menyewa kamar tersebut apa dia sendiri atau dengan orang lain menemaninya, tidak menjadi persoalan baginya. Pada umumnya bisnis motel dimana-mana memang demikian. Bahkan penyewa telah dapat langsung dengan kendaraannya kegarasi sehingga siapa yang berada dalam mobil, tidak ada yang mengetahui. Seadangkan pembayaran langsung ditagih pegawai motel tersebut.
            Selain dari hal yang diutarakan diatas, tampaknya pasal ini tidak dapat diterapkan pada lokalisasi wanita tuna susila (wts). Bahwa tampaknya masyarakat telah dapat menerima adanya tempat lokalisasi WTS dari pada tersebar dimana-mana.
            Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pasal 296 KUHP tidak dapat diperlakukan terhadap areal lokalisasi WTS.
                              RUU KUHP masih mempertahankan pasal 296 KUHP yang diambil alih pada pasal 398 bahkan meningkatkan sangsi pidana menjadi “dua belas tahun penjara”. Hal ini jelas di muat pada penjelasan resmi pasal 398 yang bunyinya sebagai berikut:.
           Pasal ini diadakan untuk memberantas bordil-bordil atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota di Indonesia. Disini dijadikan pula sebagai unsur-unsur “menjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan”, dengan pekerjaan dimaksudkan bilamana dalam usaha itu dilakukan pembayaran-pembayaran, sedangkan dalam pengertian kebiasaan termasuk bahwa orang tersebut melakukannya lebih dari satu kali. Ancaman pidana penjara minimum adalah untuk menunjukan sifat berat tindak pidananya.”
            Persepsi tentang “kebiasaan” pada penjelasan tersebut, tidak tepat. Lebih dari satu kali, dapat menjadi dua kali sedang jika dua kali saja umumnya belum dapat disebut berulang-ulang. Dua kali baru dapat dikatakan berulang.

A.    Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
1.      Pengertian Tindak Pidana
            Istilah tindak pidana yang dikenal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimana pembentuk undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit. Di dalam bahasa Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit yang berarti suatu kenyataan atau fakta. Strafbar feit menurut pendapat Simons ialah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab[24].
Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, strafbar feit adalah “kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan[25]” Beberapa asumsi atau pendapat mengenai pengertian tindak pidana menurut para ahli seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno, menurutnya tindak pidana yang dikenalnya dengan istilah perbuatan pidana yang berarti “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut[26].
Berdasarkan asumsi di atas, dalam hal dilarang dan diancamnya perbuatan pidananya, yaitu 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimana suatu asas yang menentukan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, Kalimat asas yang tersebut di atas, lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), kalimat tersebut berasal dari Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas tersebut yang dimaksud mengandung tiga pengertian yang dapat disimpulkan yaitu antara lain :
a.       Tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.      Untuk menentukan suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c.       Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Perbedaaan pandangan dan pendapat dari para ahli hukum maupun pembentuk undang-undang dalam hal mendefinisikan istilah tindak pidana yang disetarakan dengan istilah perbuatan pidana, maupun peristiwa pidana dan lain sebagainya kemungkinan untuk mengalihkan bahasa dari istilah asingnya yaitu stafbaar feit, akan tetapi dari pengalihan bahasa tersebut apakah berpengaruh atau tidak dalam makna dan pengertiannya, yang disebabkan sebagian besar di kalangan para ahli hukum belum secara jelas dan terperinci dalam menerangkan pengertian istilah tindak pidana, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal tersebutlah yang merupakan pokok perbedaan pandangan diantara para ahli hukum dalam mendefinisikan istilah tindak pidana.
           Pengertian tindak pidana merupakan suatu dasar dalam ilmu hukum terutama hukum pidana yang dimana ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang melanggar norma-norma atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana harus  memenuhi syarat-syarat seperti :
a.      Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
b.     Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c.  Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
D  Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu Dari syarat-syarat di atas, perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana ialah perbuatan yang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
mencantumkan sanksinya.


2.      Unsur-unsur Tindak Pidana
                 Dalam kita mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya, yang perlu diperhatikan ialah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-undang atau tidak. Berbagai macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai berikut :
a.         Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b.        Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c.        Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d.        Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e.        Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP[27]
            Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai berikut :
a.           Sifat melanggar hukum atau Wederrechtelicjkheid;
b.          Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

c.         Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat[28]
       Dari uraian di atas, yang terpenting dalam merumuskan suatu tindak pidana ialah apakah dari perbuatan tersebut terdapat suatu sifat melanggar hukum, walaupun pembentuk undang-undang tidak menyatakan dalam suatu unsur tindak pidana, akan tetapi unsur tersebut sebenarnya dapat bertujuan untuk mengklasifikasikan bahwa benar perbuatan tersebut ialah suatu tindak pidana, dan unsur lainnya seperti kausalitas yang dimana sebab dan akibat menjadi tolak ukur dalam menentukan bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan merupakan tindak pidana.

3.      Jenis-Jenis Tindak Pidana
       Pembagian jenis-jenis tindak pidana atau delik menurut ilmu pengetahuan hukum pidana yang dapat dibedakan dari beberapa sudut yang antara lain sebagai berikut :
a.      Berdasarkan sistem KUHP terdapat delik kejahatan dan delik pelanggaran tersebut terdapat dalam KUHP. Pembedaan dan pembagian terletak pada buku II KUHP yang mngatur tentang kejahatan dan buku III yang mengatur tentang pelanggaran. Dalam ancaman pidananya, pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan yang dimana kejahatan yang ancaman pidananya menitikberatkan penjara, sedangkan pelanggaran lebih menitikberatkan denda atau kurungan. Secara kuantitatif, pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
1)      Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seseorang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia maka dipandang tidak perlu dituntut.
2)      Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tindak pidana tidak dipidana.
3)      Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
b.     Dari segi perumusannya terdapat delik formil dan delik materil. Delik formil adalah suatuperbuatan pidana atau tindak pidana yang dianggap selesai dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan delik materil adalah suatu tindak pidana yang selesai atau sempurna dengan timbulnya akibat yang dilarang.
c.     Dari segi sifat perbuatannya terdapat delik komisi dan delik omisi. Delik komisi yaitu tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif yang melanggar larangan. Yang dimaksud perbuatan aktif tersebut adalah perbuatan yang mewujudkan disyaratkannya adanya gerakan dari anggota tubuh yang berbuat. Sedangkan delik omisi dibedakan menjadi dua macam yaitu delik omisi murni dan delik omisi tidak murni. Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu yang diperintahkan. Sedangkan delik omisi tidak murni merupakan tindak pidana yang terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu pengabaian.
d.     Dari bentuk kesalahannya terdapat delik sengaja dan delik tidak sengaja. Delik sengaja adalah tindak pidana yang di dalam rumusannya dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan delik kelalaian atau tidak dengan sengaja adalah tindak pidana yang dimana dalam rumusannya tidak mengandung unsur kesengajaan.
e.      Dari segi penuntutannya terdapat delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan oleh orang yang merasakan dirugikan terhadap tindakan pelaku. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa adanya suatu pengaduan.
f.       Dari segi perbuatannya terdapat delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan. Delik yang berdiri sendiri yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan, sedangkan delik yang diteruskan yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas beberapa perbuatan yang mempunyai pertalian yang sedemikian eratnya sehingga harus dianggap satu perbuatan. Pembagian antara
g.      Dari segi keadaan terdapat delik selesai dan delik berlanjut. Delik selesai yaitu tindak pidana yang selesai terjadi dengan melakukan satu atau beberapa perbuatan tertentu, sedangkan delik berlanjut yaitu tindak pidana yang dilakukan untuk melangsungkan suatu keadaan terlarang.
h.      Dari sudut berapa kali perbuatannya yang dilarang yang dilakukan terdapat delik tunggal dan delik berangkai. Delik tunggal yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan atau sekali saja dilakukan, sedangkan delik berangkai ialah suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa jenis perbuatan.
i.        Dari sudut kepentingan negara terdapat delik politik dan delik kelompok. Delik politik ialah tindak pidana yang tujuannya di arahkan kepada keamanan negara dan terhadap kepala negara, sedangkan delik kelompok yaitu tindak pidana yang tidak ditujukan terhadap keamanan negara atau kepala negara. Dari sudut unsur perbuatannya terdapat delik sederhana, delik dengan pemberatan dan delik peringanan. Delik sederhana yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Delik dengan pemberatan yaitu tindak pidana yang mempunyai unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokok akan tetapi ada unsur-unsur lain yang ditambahkan, sehingga ancaman pidananya lebih berat dari tindak pidana pokoknya. Sedangkan delik peringanan ialah tindak pidana yang mempunyai unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokoknya akan tetapi ditambahkan unsur-unsur lainnya yang dan dapat meringankan ancaman pidananya.
j.      Dari segi subyek hukumnya terdapat delik propria (khusus) dan delik komun (umum). Delik propria atau delik khusus adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti pegawai negeri sipil atau yang mempunyai kedudukan struktural di pemerintahan. Sedangkan delik komun atau delik umum ialah tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang.






















BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
A.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan  Terhadap Anak Di Bawah Umur.
Dalam hal mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, dapat dimulai dengan mengetahui peningkatan, hubungan pelaku sampai modus operandi dari kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, dalam hal ini Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak, menentukan tiga jenis kekerasan terhadap anak yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang meresahkan anak dan mayarakat yang diantaranya ialah kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis.
Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam melakukan suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak yang menjadi korban akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku pencabulan.
Dalam hal pencabualn terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan beragam modus operandi sebagai berikut : 
1.      Modus 1
Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku mengajak korban kewarnet, setelah itu pelaku mengajak korban ketempat tongkrongannya di jempatan sutet.Pelaku menawarkan ingin mencari sekolah SMA karna korban adalah kelas III SMP..   
2.       Modus 2
Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau modus memberikan minuman yang dimana minuman tersebut bisa membuat anak mabok atau pingsan.
3.      Modus 3
Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku mengajak berkenalan dengan anak yang akan menjadi korbannya, pelaku menawarkan sesuatu seperti mengantarkannya pulang ataupun menjanjikan sesuatu. Setelah korban menerima penawaran tersebut pelaku melakukan pencabulan.
4.      Modus 4
Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau modus memberikan minuman yang dimana minuman tersebut telah dicampurkan obat yang membuat anak menjadi tidur Dari modus-modus operandi pencabulan terhadap anak di bawah umur di atas, ialah sejumlah modus operandi atau cara yang digunakan oleh pelaku pencabulan demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada anak-anak. Dari beragam bentuk modus yang dilakukan oleh para pelaku disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan tersebut.

Tiga jenis kekerasan terhadap anak yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang meresahkan anak dan mayarakat yang diantaranya ialah kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis.
Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam melakukan suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak yang menjadi korban akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku pencabulan.

         Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah sebagai berikut :
1.   Faktor Lingkungan.
       Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Hal ini dapat terjadi dikarenakan situasi dan keadaan dari lingkungan tempat tinggal yang mendukung dan memberi kesempatan untuk melakukan suatu tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, yang antara lain sebagai berikut :
a.   Pergaulan di lingkungan masyarakat sekitar yang terkadang sering kali melanggar norma-norma yang berlaku seperti perkumpulan atau tongkrongan yang seringkali berperilaku yang tidak sopan seperti mengganggu wanita, minum-minuman beralkohol dan lain sebagainya.
b.  Lingkungan tempat tinggal yang cenderung mendukung terjadinya kejahatan, seperti lampu penerangan jalanan yang tidak memadai sehingga menimbulkan daerah tersebut menjadi gelap, dan sepi yang dimana hal tersebut dapat mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan.
c.  Kurang efisiennya sistem pengamanan dari suatu daerah oleh masyarakat maupun aparat   kemananan setempat sehingga menyebabkan daerah tersebut rawan dan sering timbul kejahatan.
d.      Keadaan di lingkungan keluarga yaitu kurang efisiennya antisipasi keluarga terhadap anak seperti seorang anak dibiarkan bermain atau berpergian sendirian tanpa pendampingan dan pengawasan secara intensif sehingga anak dapat diawasi dengan baik, dengan siapa anak bermain ataupun dengan siapa teman yang baru anak kenal dan ketahui.
e.  Keadaan di lingkungan keluarga dalam hal hubungan seksual suami istri dapat mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan seperti seorang ayah mencabuli anaknya (incest) yang disebabkan hasrat seksual ayah tidak dapat dipenuhi oleh sang ibu dan menyebabkan ayah lepas kontrol dan mencabuli anaknya sendiri, hal tersebut lebih cenderung pelakunya ialah ayah tiri tapi dapat juga dilakukan oleh ayah kandung atau saudara-saudara dari anak tersebut.
f.  Keadaan di lingkungan pendidikan dapat juga mempengaruhi dikarenakan di lingkungan pendidikan juga harus di waspadai sebab banyak kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang pengajar ataupun teman sekolahnya yang disebabkan oleh kurangnya moralitas dan mentalitas dari pelaku sehingga membuat moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
g.     Keadaan lingkungan di jalanan bagi anak-anak yang berkehidupan di jalanan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, dikarenakan kehidupan jalanan dapat dikatakan kehidupan yang sangat keras dan memiliki potensi yang relevan bagi suatu tindak pidana pencabulan, kebanyakan korbannya anak-anak jalanan yang berkehidupan sebagai pengamen dan pengemis, tidak selayaknya anak-anak berada dalam lingkungan tersebut.

2.   Faktor Kebudayaan
       Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dalam hubungannya dengan masalah ini merupakan suatu hasil karya yang diciptakan dan secara terus-menerus diperbaharui oleh sekelompok masyarakat tertentu atau dengan kata lain perkembangan suatu ciri khas masyarakat pada suatu daerah seperti gaya hidup manusia atau masyarakat. Di sebagian negara yang berkembang khususnya Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan mulai dari yang tradisional sampai modern yang semakin lama semakin berkembang. Menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud kebudayaan yang antara lain sebagai berikut :
a.  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia[29].
        Ketiga wujud tersebut di atas, berupa wujud dari suatu kebudayaan yang dimana jika dikaitkan dengan permasalahan pencabulan, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya pencabulan pada anak-anak yaitu dengan berkembangnya kebudayaan tersebut dapat mengarah pada keterbukaan dalam bentuk seksual, seperti gaya berpakaian terutama kaum wanita dan ditiru oleh anak-anak, semakin bebasnya pergaulan terutama dalam hal seksual bebas dan lain-lain yang mengarah pada perbuatan melanggar kesusilaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia.
       Budaya berpakaian anak yang sekarang terkadang mengikuti perkembangan zaman yang model dari pakaiannya tidak menutupi auratnya yang hal ini disebabkan usia seorang anak masih dalam taraf peniruan orang-orang disekitarnya demi tumbuh kembangnya, hal berpakaian inilah yang sedikit demi sedikit hal dapat menjadi dampak yang mengancam anak untuk dilakukannya suatu perbuatan pencabulan tersebut, dikarenakan anak yang berpakaian tidak menutupi auratnya yang dapat mengundang hasrat seksual orang lain untuk menjadi seorang pelaku pencabualan demi pemenuhan hasrat seksual pelaku.
3.    Faktor Ekonomi.                                                                                                       
         Ekonomi merupakan suatu penunjang kehidupan setiap manusia, ekonomi atau keuangan dapat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu pencabualan terhadap anak di bawah umur. Dalam hal yang dimaksud tersebut ialah apabila seseorang mengalami himpitan atau kesusahan dalam bidang perekonomian, hal tersebut dapat menganggu akal pikirannya dan dapat mengakibatkan orang tersebut akan mengalami stres berat, sehingga dapat membuat orang tersebut dapat melakukan sesuatu hal yang tak bisa dikontrol oleh dirinya sendiri. Hal ini cenderung di kehidupan berkeluarga dan pengangguran yang dapat melakukan tindakan apa saja yang tak bisa dikontrol oleh dirinya sendiri akibat dari kemerosotan perekonomian dalam kehidupannya.
4.   Faktor Media.
         Salah satu faktor yang turut serta mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah faktor media. Media merupakan sarana yang efisien dan efektif dalam menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas, karena dengan biaya yang relatif sesuai dengan kemampuan dan mampu menjangkau masyarakat dalam waktu yang cukup signifikan.
          Faktor media tersebut meliputi media cetak seperti majalah-majalah atau bacaan-bacaan yang mengandung unsur pornografi dan faktor media lainnya ialah media elektronik seperti internet, film-film yang mengandung unsur pornografi dan lain-lain. Pornografi tersebut dapat mempengaruhi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, dikarenakan pornografi mengandung unsur negatif yang dapat menimbulkan seseorang terpengaruh dari media-media yang di lihatnya. Hal tersebut dapat menimbulkan nafsu seksual, rangsangan, dan pikiran-pikiran tidak sehat, khususnya dikalangan dewasa.
Walaupun Undang-undang No 44 tahun 2008 tentang Pornografi tersebut telah diberlakukan, akan tetapi peredaran media yang mengandung unsur pornografi dapat beredar secara mudah di kalangan masyarakat, seakan-akan para pembuat, pengedar dan kosumen film dan bacaan Internet merupakan suatu media ektronik yang bermanfaat sebagai penyebar informasi diseluruh dunia bahkan bukan hanya orang dewasa saja yang menggunakan media elektronik tersebut akan tetapi anak-anak pun sudah dapat menggunakan media elektronik tersebut.
Fungsi dari internet bukan hanya untuk mengetahui informasi akan tetapi dapat juga digunakan sebagai media untuk berinteraksi sosial dari situs-situs seperti yahoo, twitter, facebook dan lain-lain yang merupakan suatu media untuk berkomunikasi dengan orang lain. Media interaksi sosial tersebut dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan.

5.    Faktor Kejiwaan atau Psikologi.
         Faktor kejiwaan dalam hal ini dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Beberapa dokter ahli jiwa mengemukakan pendapat, “bahwa perbuatan kejahatan itu selalu disebabkan oleh beberapa ciri-ciri atau sifat-sifat seseorang, yang merupakan pembawaan dari suatu keadaan penyakit jiwa[30]. Terkadang para pelaku pencabulan mempunyai kejiwaan yang terganggu akibat pernah mengalami suatu peristiwa yang dapat membuat jiwanya menjadi terganggu. Beberapa penyakit jiwa yang berhubungan dengan pelaku melakukan kejahatan, yang antara lain sebagai berikut :
a.    Epilepsi. Penyakit sawan yang nampak nyata maupun yang tidak mudah diketahui, yang datangnya tiba-tiba. Si penderita bila penyakitnya kambuh tidak mampu menguasai dirinya, sehingga dalam keadaan tersebut yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan di luar kesadarannya, antara lain perbuatan yang bertentangan dengan hukum..
b.   Gejala Sosiopatik, ciri-cirinya adalah bahwa si penderita hampir-hampir tidak mengenal norma, tidak dapat membedakan perbuatan mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak, akibatnya si penderita hampir selalu berurusan dengan hukum, karena ada diantara perbuatannya di luar keinginannya yang merupakan kejahatan.
c.   Schizophrenic, suatu penyakit jiwa yang menyebabkan si penderita hidup dalam keadaan jiwa yang terbelah, dimana yang bersangkutan sering dalam kehidupan khayal, yang suatu saat khayalannya dianggap kenyataan yang dihadapi[31].44

Bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur ini sering disebut dengan istilah phedofilia yaitu suatu suatu istilah dari ilmu kejiwaan yaitu phedofil yang artinya dapat disimpulkan ialah melampiaskan hasrat seksual kepada anak-anak. Pada faktor kejiwaan yang menyimpang inilah yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Penyebab penyakit Phedofilia ini sangat bervariasi ada yang berupa trauma sewaktu kecil akibat pernah disodomi ataupun ketidaksukaan terhadap orang dewasa akan tetapi lebih menyukai anak-anak di bawah umur dalam hal hubungan seksualnya.

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku Di Indonesia.

Dari berbagai kasus pencabulan yang terjadi di Indonesia yang bermacam macam bentuk dan modus operandinya seperti dirayu, diancam, dipaksa, ditipu dan lain sebagainya, para pelaku pencabulan tersebut menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia rata-rata dijatuhi hukuman penjara sekitar tiga sampai lima tahun.
         Efisiensi hukuman penjara tersebut apakah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku pencabulan anak di bawah umur, ini menjadi suatu polemik dikalangan masyarakat, akan tetapi penjatuhan hukuman bagi pelaku itu tergantung pada proses hukumnya. Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi para pelaku didasarkan pada pembuktian dan keyakinan dari hakim serta dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, hal-hal ini yang akan menjadi tolak ukur dari berat ringannya hukuman bagi pelaku. Sebagaimana pengaturan bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ialah sebagai berikut :
1.   Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut KUHP ialah sebagai berikut :
a.    Pada pasal 289 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun[32]

Dari pasal 289 KUHP di atas, pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama Sembilan tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategori korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorang wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat dikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang korbannya anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam pasal ini
Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku pencabualan terhadap anak di bawah umur melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan cara meminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsan atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
c.           Pasal 290 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
1.      Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2.      Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin.
3.      Barangsiapa membujukseseorang yang diketahuinya atau sepatutnya diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas yang bersangkutan atau belum waktunya untuk dikawinin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.

         Perbuatan yang terjadi di sini adalah perbuatan pencabulan terhadap anak di bawah umur dilakukan dengan memaksakan kehendak dari orang dewasa terhadap anak di bawah umur yang dilakukan tanpa atau dengan kekerasan demi tercapainya pemenuhan hasrat seksual.
Pemenuhan hasrat seksual yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat korban menjadi senang dan tertarik, dengan demikian si pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan maksudnya untuk mencabuli korban. Dalam hal ini pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

2.    Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut undang-undang perlindungan anak ialah sebagai berikut :
a.        Pasal 82 ayat (1) yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh rupiah)[33]

Proses selama persidangan
1.      Proses hukum dikepolisian
Bentuk perlakuan khusus terhadap tersangka anak dibawah umur PSKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG ditahap penyidikan tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan khusus yang diatur oleh undang-undang nomr 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penyidik dikepolisian lebih menekankan hukum secara pidana pada umumnya dan mempergunakan teknik resense untuk menjerat pelaku tindak pidana, pinyidik khusus anak dikepolisian bekasi timur tidqak ada, klarisifikasi penanganan penyidikan tidak didasarkan pada golongan usia pelaku tetapi penyidikan didasarkan dari macam tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Tempat penahanan sel khusus anak dilingkungan rumah tahanan Negara kepolisisn dibekasi tidak ada, terdakwa ditempatkan di sel rumah tahanan tercampur dengan orang dewasa.
2.      Proses hukum dikejaksaan
Perlakuan khusus terhadap terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG Bekasi timur juga tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan hukum khusus yang diatur dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Jaksa penuntut umum khusus anak dikejaksaan bekasi sebenarnya sudah ada  akan tetapi telah pidah tugas, penanganan perkara anak dilakukan oleh jaksa penuntut umum lainnya.  Tempat penahanan tersangka anak dibawah umur selama menjalani proses penuntutan bekasi timur tindak mempunyai rumah tahanan anak.
3.      Proses hukum dipengadilan
Pada saat dilakukan proses di pengdilan negeri Bekasi timur tersangka anak nakal juga tidak sepenuhnya mendapatkan perlakuan khusus seperti yang ditentukan dalam Undang-undang. Hakim khusus anak dipengadilan Negeri Bekasi tidak ada, penanganan perkara anak dilakukan oleh hakaim lain yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri bekasi. Selama proses persidangan berlangsung ketentuan hukum acara yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tantang Pengadilan Anak telah sebagaian diterapkan, dimana sidang anak dibawah umur dilakukan tertutup untuk umum  yang hanya dapat dihadiri oleh orang-orang tertentu. Akan tetapi hakim yang memeriksa adalah majelis hakim, bukan hakim tunggal.menurut ketentuan ditekankan untuk kasus anak hakimyang memeriksqa adalah hakim tunggal yang dibantu oleh seorang panitera.  Sidang didahului penyampaian hasil penelitian kemasyarakatan, dengan para pejabat yang tidak memeakai atribut kebesaran berupa toga. Hakim dalam mengambil keputusan telah mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan tersangka seperti yang terlihat pada putusan yang dijatuhkan kepada PASAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG.
4.      Proses hukum di lembaga pemasayarakatan
Terpidana anak dibawah umur atas nama PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dieksekusi oleh jaksa openuntut umum  denga ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatankhusus anak di bekasi. Perlakuan khusus yang didapatkan terpidana anak dibawha umur atas nama PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG
 Hampir telah seluruhnya sesuai dengan ketentuan Undqng-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dimana lembaga pemasyarakatan tempat dilaksanakananya eksekusi adalah lembaga pemasyarakatan khusus anak yang terpisah dari orang dewasa, selama menjalani pidana terpidana anak dibawah umur mendapat perlakuan yang sama dengan anak didik pendidikan dan pelatihan serta mendapatkan hak-haknya yang sebagai narapidana anak.

C.  Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur.
             Upaya untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pencegahan dan penanggulangan jika tindak pidana.
pencabulan terhadap anak di bawah umur terlanjur terjadi, upaya tersebut dapat dilakukan yang antara lain sebagai berikut :

1.      Langkah-Langkah Pencegahan
Untuk menanggulangi suatu kejahatan dapat dilakukan dengan upaya pencegahan atau dengan kata lain mencegah lebih baik daripada mengobati hal yang telah terjadi, sehubungan dalam pembahasan skripsi ini berarti upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang merupakan perbuatan yang keji dan tidak bermoral. Langkah-langkah pencegahan diupayakan yang bertujuan untuk mengurangi tindak pidana khususnya pencabulan pada anak-anak di bawah umur dan juga suatu usaha untuk melindungi anak-anak yang memang sangat rentan untuk menjadi korban pencabulan, dikarenakan anak ialah sebagai tunas bangsa, merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara.
Anak harus mendapatkan perlindungan dari gangguan-gangguan berupa perlakuan salah kepada anak. Jika tidak dilindungi, maka anak sebagai generasi bangsa dapat mengalami kehancuran, lebih memperihatinkan apabila anak-anak sampai menjadi korban tindak pidana pencabulan, maka hancurlah kreativitas, kemauan, dan bakat seorang anak dalam mengembangkan pemikiran dan tumbuh kembang melalui proses coba-mencoba, sehingga generasi muda akan mengalami hambatan dan pada akhirnya secara keseluruhan akan menghambat berjalannya proses kaderisasi bangsa. Oleh karena itu, keluarga, masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum saling berkerja sama bahu-membahu untuk menekan peningkatan angka tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur hingga serendah-rendahnya bahkan sampai kejahatan ini tidak ada lagi. Usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah sebagai berikut :
a.  Meningkatkan keamanan di lingkungan sekitar, hal ini dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat bersama saling membahu untuk menjaga lingkungan disekitarnya, sehingga kesempatan dan ruang gerak dari para calon pelaku pencabulan menjadi sempit dan dapat mengurangi peningkatan angka kejahatan khususnya tindak pencabulan terhadap anak di bawah umur.
b.  Membenahi sarana dan fasilitas di lingkungan sekitar, misalnya menambah atau memperbaiki penerang
 c.    Perbaikan daerah-daerah yang relatif dengan tindak kejahatan khususnya pencabulan seperti rawa-rawa dan hutan disekitar lingkungan perumahan dikarenakan lingkungan seperti ini sangat potensial menimbulkan kriminalitas, termasuk tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur.
d.    Pemberantasan film dan bacaan yang mengandung unsure pornografi yang beredar secara luas di kalangan masyarakat, karena sering kali tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur terjadinya karena melihat film atau bacaan yang mengandung pornografi.
e.  Partisipasi aktif atau keikutsertaan tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk membina dan menuntun masyarakat di lingkungan sekitarnya, dikarenakan tokoh-tokoh tersebut ialah sebagai contoh dari pengembangan perilaku masyarakat dan dimana tokoh tersebut sangat dihargai pendapatnya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh ini berfungsi meningkatkan dan membimbing moralitas dan mentalitas masyarakat agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang negatif atau jahat. Apabila dalam hal ini dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan mental dan moral masyarakat menjadi baik dan angka peningkatan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat berkurang semaksimal mungkin.
f.     Masyarakat harus lebih intensif dalam menyikapi dan menyaring kebudayaan asing atau baru yang mengandung unsur negatif dan yang dapat merusak moral. Hal tersebut dapat berjalan dengan baik dengan didukungnya oleh peran aktif seluruh unsur-unsur yang memegang kedudukan penting seperti orang tua, guru, para tokoh agama atau masyarakat, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
g.     Dalam hal kehidupan rumah tangga atau keluarga, seperti hubungan orang tua dan anak selayaknya harus tetap efisien terjalin, seperti memberikan perhatian, nasehat, bimbingan dan perlindungan bagi anak demi kebaikannya dan menyelamatkannya dari perlakuan salah yang dilakukan oleh pelaku. Hal tersebut sangat diperlukan dalam proses pendewasaan anak serta anak dapat mengetahui hal-hal apa yang baik bagi anak dan hal-hal apa yang buruk bagi anak.
                  Dari rincian usaha mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di atas, merupakan suatu bentuk untuk mencegah agar perbuatan yang keji dan tidak bermoral yang korbannya ditujukan kepada anak-anak khususnya kasus pencabulan yang menimpa anak di bawah umur atau dengan kata lain mencegah lebih baik daripada menanggulangi. Mencegah perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban tindak pidana. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan suatu kondisi,
      dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya, maka dengan demikian kita wajib mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan untuk melindungi anak dari perlakuan salah yang ditujukan kepada anak, demi kepentingan tumbuh kembang anak serta kepentingan bangs dan Negara.

2.  Langkah-Langkah Penanggulangan Jika Terjadi Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur.
Apabila seluruh lapisan masyarakat berserta pemerintah dan penegak hukum telah berupaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan menerapkan langkah pencegahan akan tetapi peristiwa atau perbuatan yang tidak diharapkan tersebut ternyata tetap terjadi juga, maka terpaksa dilakukan langkah penanggulangan untuk menyelesaikan dan mengatasi dengan tuntas kasus yang terlanjur terjadi.
Dalam penyelesaian kasus-kasus pencabulan yang menimpa anak di bawah umur, walaupun kasus tersebut telah tuntas diproses secara hukum akan tetapi menyisakan masalah-masalah lainnya seperti dampak akibat pencabulan tersebut bagi anak dan keluarganya, karena merasa keadilan yang mereka harapkan belum terpenuhi seluruhnya. Terkadang hukuman bagi pelaku tidak sesuai dengan perbuatan pelaku tersebut. Oleh karena itulah para aparat penegak hukum diharapkan untuk berkerja seoptimal mungkin, agar penegakan hukum dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Proses hukum bagi para pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur merupakan suatu langkah dalam menanggulangi tindak pidana khususnya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang telah terjadi. Yang dimana proses hukum tersebut harus berjalan secara efisien demi tercapainya suatu penegakan hukum yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya korban dan keluarganya. Langkah penanggulangan yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat beserta pemerintah dan para penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah sebagai berikut :
a.         Dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengungkapan kasus kejahatan khususnya kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, apabila tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur terjadi di lingkungan sekitar, maka pihak masyarakat yang mengetahui adanya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur segera mengadukan hal tersebut ke aparat keamanan setempat. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya mencegah pencabulan terhadap anak di bawah umur, sebab terkadang tindak pidana pencabulan terhadap anak, korbannya yang masih usia anak masih polos dan lugu, biasanya anak tersebut mendapatkan imbalan berupa uang dan ancaman dari pelaku yang membuat anak tersebut takut dan tunduk sehingga tidak memberitahukan hal tersebut pada orang lain. Peran masyarakatlah khususnya pihak keluarga korban yang sangat dibutuhkan apabila terjadi suatu gejala atau tingkah laku yang aneh pada mental ataupun tubuh anak akibat pencabulan, hendaknya segera melapor ke aparat keamanan setempat.
b.  Kepolisian sebagai penyidik dan sekaligus pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat khususnya dalam hal ini Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), harus teliti dan cermat dalam mencari bukti-bukti seperti visum maupun keterangan saksi, agar pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur tidak lepas begitu saja dari tindak pidana yang disangkakan, sebab banyak kasus pencabulan terhadap anak yang terjadi, para pelaku seringkali dibebaskan dikarenakan dengan alasan tidak cukup bukti yang menguatkan tersangka. Hal tersebut dapat dipahami, karena ketika terjadi pencabulan terhadap anak di bawah umur selalu melakukan kejahatannya ditempat yang sulit diketahui dan didengar oleh orang lain atau dengan kata lain tertangkap tangan. Oleh sebab itu, kinerja, profesinalisme maupun mentalitas dari pihak kepolisian sangat diharapkan dalam hal ini dalam mengungkap kejahatan khususnya kasus-kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur.
c.   Penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”[34] sesuai dengan pasal 13 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kejaksaan merupakan suatu institusi yang diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku, yang dimana jaksa diharapkan untuk dapat mencermati, menelaah dan memperhatikan unsur-unsur pasal yang disangkakan dalam mendakwa dan menuntut para pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur agar dijerat dengan pasal yang sesuai dengan perbuatan pelaku.
d. Pihak kehakiman harus bekerja efisen dalam menjatuhkan hukuman yang benar-benar setimpaldengan perbuatan pelaku. Ini bukan sekedar suatu kesempatan balas dendam, melainkan agar pelaku jera dan supaya para calon pelaku yang berikutnya berpikir seribu kali jika hendak berniat
      mencabuli anak, dan supaya korban dan keluarga serta masyarakat merasa lebih tenang dan terlindungi serta demi kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia ini tetap dapat dipertahankan.
e. Lembaga independen dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak, dapat melakukan upaya penanggulangan jika terjadi pencabulan terhadap anak yaitu dengan cara mengedepankan hak-hak seorang anak seperti melindungi anak yang menjadi korban pencabulan, mendampingi, memantau, melakukan pendekatan pada anak yang menjadi korban pencabulan yang berguna untuk membantu proses penyidikan dikarenakan anak korban pencabulan sulit untuk mengingat atau berbicara mengenai peristiwa pencabulan yang dialaminya, dan yang terakhir ialah melakukan proses rehabilitasi anak atau dengan kata lain melakukan upaya untuk memulihkan psikis anak korban pencabulan akibat trauma atas peristiwa pencabulan yang dialaminya.
f.   Media cetak maupun media elektonik dapat juga membantu proses penanggulangan terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yaitu dengan cara mengadakan berita investigasi atas kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur akan tetapi wajah maupun identitas korban disamarkan atau disensor agar identitas korban tidak diketahui publik dan demi kelangsungan masa depan korban, sehingga ruang gerak dari pelaku yang buron menjadi sempit, dengan demikian polisi akan lebih mudah melacaknya serta menangkapnya. Dalam hal ini juga, pihak aparat bisa bekerja sama dengan pihak media untuk mencoba melakukan berbagai cara atau tindakan yang diperkirakan dapat menekan angka tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, misalnya dengan menayangkan berita tentang pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur beserta memaparkan ancaman hukumannya, ataupun dengan acara penyuluhan hokum tentang tindak pidana tersebut di televisi dan lain-lain.
Dari rincian di atas, merupakan suatu langkah-langkah yang bertujuan untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang terbagi atas beberapa langkah yaitu langkah pencegahan dan langkah untuk menanggulangi jika terjadi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat beserta pemerintah.
Dari Putusan No : 757/Pid.B/2013/PN.Bks penulis berpendapat bahwa Hakim jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1997, kenapa demikian, dikarenakan Hakim tetap membuka Penasehat Hukumnya, orang tua, wali, orang tua asuh dan Pembimbing Kemasyarakatan. Walaupun banyak tersedia Hakim yang telah berpengalaman lama, akan tetapi mereka tidak mungkin dapat diangkat menjadi Hakim Anak apabila yang bersangkutan tidak memiliki minat, pemerhati, dedikasi, dan memahami masalah anak. Ini berarti tidak semua hakim yang telah berpengalaman dapat menjadi Hakim Anak.
Dari analisis tersebut diatas penulis tidak sepakat dengan putusan yang telah diberikan Hakim terhadap terdakwa PASKAH  SAHPUTRA BASKAMI SITEPU, seakan-akan terdakwa diharuskan mengakui perbuatannya karena terdakwa tidak mempunyai pembelaan yang seharusnya diberikan oleh Penasehat Hukumnya.
H.M SALEH RASOEN,SH.MH sebagai Hakim Ketua dan H.HERMANSYAH, SH. MH.  Dan SURANTO. SH sebagai hakim anggota yang memutuskan perkara terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU, GUSTI HAMDANI, SH.,MH sebagai Jaksa Penuntut Umum dan Hj, AFRIENDA, SH.,MH sebagai Panitera Pengganti.
BAB IV

A.    Analisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pencabulan Terhadap Anak.
         Dalam hal ini Pencabulan terjadi antara seseorang yang berusia dibawah 18 tahun kepada seseorang yang juga berusia di bawah 18 tahun. Ini berarti menjadi korban adalah seorang anak. Oleh karena itu, Peraturan Perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-undang N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP
Pengertian anak, menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
          Dalam hal ini terjadi tindak pidana pencabulan antara anak dibawah umur tersebut, karena diawali dengan rayuan terlebih dahulu dari si anak laki-laki, maka dia (terdakwa) dikenai pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak. “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, mamaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”
Hal ini juga sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pemgadilan Anak. (“Undang-undang Pengadilan Anak”) yaitu “Anak adalah orang yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin.
        Perkara pencabulan yang mana pelaku maupun korbannya adalah anak dan diputus oleh Pemgadilan Negeri Bekasi No. 757/PID.B/2013/PN.Bks maka dalam perkara ini Tindak Pidana Pencabulan yang dilakukan oleh PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG yang masih berumur 16 tahun diberikan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan, dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) Subsidair 3 (dua) Bulan Kurungan.
Hakim Pengadilan Negeri Bekasi berdasarkan putusannya pada Pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 (1) KUHP.

B.     Kasus Posisi
1.      Identitas Terdakwa      
Nama                             : PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Alias ABANG
Umur                             : 16 Tahun
Tempat Tanggal Lahir  : Bekasi, 31 Maret 1997
Jenis Kelamin               : Laki-laki
Kewarganegaraan         : Indonesia
Alamat            : Komplek Candra  Indah Jl. Irian Blok E 60 Rt.03/016                                                                                                                       Kelurahan   Jatirahayu Kec. Pondok Melati Kota Bekasi.
Agama                          : Kristen Protestan
Pekerjaan                      : -


2.      Penahanan
-  Terdakwa Ditahan sejak tanggal 16 Mei 2013 dan Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan 16 Mei 2013.

B.  Dakwaan dan Tuntutan Jaksa
Primair
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam  pidana Pasal 82 Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP
Subsidair
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam menurut pidana pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.

2.      Tuntutan jaksa penuntut umum
Fakta-fakta yang terungkap dipersidangan secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi keterangan terdakwa, petunjuk, dan bukti sbb
Keterangan saksi-saksi
1.      Saksi SHAFINA DHILA
Memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-          Bahwa saksi dalam keadaan jasmani dan rohani;
-     Bahwa saksi kenal dengan  terdakwa;
-     Bahwa saksi pernah diperiksa di kantor polisi dan keterangannya benar;
-     Bahwa awalnya sekitar pukul 13.00 Wib pada hari selasa tanggal 14 Mei 2013  Saksi dijemput oleh ANDRIFA dan ALEXANDER SANTO NAPITUPULU didepan sekolah Yasfi oleh ANDRIFA di Kampung Sawah Bekasi kemudian diajak ke warnet, setelah itu ANDRIFA mengajak saksi untuk bersama-sama ke tempat tongkrongan nya dijembatan sutet, setelah sampai lalu ANDRIFA memperkenalkan saksi dengan teman-teman nya kurang lebih 8 (Delapan) orang antara lain PASKAH SAHPUTRA, IRWAN ALFRIDO, YANRI UMBU LALOMILA Als BETA dan IYOS BENEDIKTUS SITORUS lalu ANDRIFA dan ALEX membeli minuman keras jenis chiu, selanjutnya Saksi bersama dengan yang lainnya meminum chiu tersebut.
Bahwa atas keterangannya saksi diatas tersebut, terdakwa membenarkannya
2.      Saksi ENDANG SUBARANI
Memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-          Bahwa saksi adalah orang tua dari korban yang bernama SHAFINA DHILA
-          Bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa
-          Bahwa saksi pernah diperiksa dikantor polisi dan keterangannya benar
-          Bahwa sepengetahuan saksi pada hari SELASA tanggal 14 Mei 2013 SHAFINA DHILA pernah menyampaikan kepada saksi ingin menyampaikan kepada saksi ingin mencari sekolah SMA bersama temannya namun tidak dikasih tau siapa teman nya itu lalu oleh saksi ditunggu sampai larut malam kok anak saksi yang bernama SHAFINA DHILA tidak pulang kerumah.
-          Bahwa pada pagi harinya sekitar pukul 08.00 WIB SHAFINA DHILA pulang kerumah diantar oleh temannya lalu  ketika saksi tanyakan kepada SHAFINA DHILA kemana saja dan kenapa mukanya terlihat pucat lalu dijawab oleh SHAFINA DHILA bahwa semalam habis diberikan minuman sampai mabuk dan dipaksa disetubuhi dan dicabuli dengan kekerasan oleh terdakwa dirumah pak Gunawan Jl. Pasar Kecapi Rt. 009/011 Kel. Jatirahayu ditempat YANRI bekerja sebagai pengurus rumah dan mengurus anjing peliharaan.
-          Bahwa setelah itu saksi melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian.
Bahwa atas keterangan saksi diatas tersebut, terdakwa membenarkan
3.      Saksi PASKAH SAHPUTRA
Memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-          Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
-          Bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa
-          Bahwa saksi pernah diperiksa di kantor polisi dan keterangan nya benar
-          Bahwa saat saksi ketempat tongkrongan ternyata sudah ada teman2 yang lainnya lalu ANDRIFA dan ALEXANDER membeli minuman keras jenis chiu, selanjutnya bersama-sama pada meminum shiu yang diberikan tersebut
-          Bahwa menjelang malam SHAFINA DHILA dibawa oleh ANDRIFA dan ALEXANDER dengan memapah SHAFINA DHILA ke rumah YANRI UMBU LAMOMILA Als BETA, saat saksi SHAFINA berada didalam kamar lalu saksi masuk kedalam kamar dan berbaring disamping saksi SHAFINA, kemudian saksi mencium bibir saksi SHAFINA dan kedua tangan saksi memegang payudara saksi SHAFINA sambil meremas-remas, saat tangan saksi memegang kemaluan saksi SHAFINA lalu saksi SHAFINA menolaknya, selanjutnya saksi pergi keluar dari kamar.
-          Bahwa pada saat saksi berada diluar lalu banyak yang masuk kedalam kamar, tidak lama kemudian saksi masuk lagi kedalam kamar  sebab saksi mendengar  teriakan takut nanti  ada tetangga yang mendengar dan melaporkan kepada polisi, lalu ketika saksi masuk kedalam kamar saksi melihat ALEXANDER  SANTO NAPITUPULU sedang menindih SHAFINA DHILA kemudian saksi mengatakan untuk jangan berisik nanti kedengaran warga dan diaduin kepolisi
-          Bahwa setelah itu terdakwa pada keluar kamar tersebut
Bahwa atas keterangan saksi di atas tersebut, tersebut membenarkannya.
4.      Saksi ALEXANDER SANTO NAPITUPULU
Memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :
-          Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
-          Bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa
-          Bahwa saksi spernah diperiksa dikantor polisi dan keterangan nya benar
-          Bahwa sekitar pukul 13.00 Wib pada hari selasa tanggal 14 Mei 2013 saksi SHAFINA dijemput oleh ANDRIFA dan saksi didepan sekolah Yasfi di Kampung Sawah Bekasi diajak untuk bersama-sama ke tempat tongkrongan dijembatan sutet, setelah sampai lalu ANDRIFA membeli minuman  keras sejenis chiu, kemudian datanglah PASKAH SAHPUTRA  lalu IYOS BENEDIKTUS SITORUS dan IRWAN ALFRIDO ke tempat tongkrongan tersebut, selanjutnya terdakwa bersama SHAFINA, ANDRIFA, IYOS BENEDIKTUS SITORUS, PASKAH SAHPUTRA dan IRWAN ALFRIDO meminum chiu tersebut.
-          Bahwa sekitar pukul 18.00 WIB ketika saksi SHAFINA sudah mabuk dan dibawa oleh ANDRIFA dan saksi dengan menggotong saksi SHAFINA ke rumah YANRI UMBU LAMOMILA Als BETA, saat saksi SHAFINA berada didalam kamar.
-          Bahwa pada saat PASKAH SAHPUTRA keluar dari dalam kamar lalu masuk ANDRIFA dan saksi ke dalam kamar, setelah masuk tidak lama kemudian saksi shafina keluar kamar dan muntah, oleh saksi dibantu ke kamar mandi dan dibersihkan setelah itu saksi SHAFINA dibawa masuk kedalam kamar tetapi saksi SHAFINA sempat tidak mau, akhirnya dibujuk oleh saksi untuk masuk kedalam kamar lalu diangkat saksi SHAFINA  oleh saksi dan ANDRIFA masuk kedalam kamar dan ditidurkan diatas kasur.
-          Bahwa pada saat saksi SHAFINA berada diatas kasur lalu ANDRIFA memeluk saksi SHAFINA dari samping sambil mencium saksi SHAFINA, kemudian saksi menghitung jari sambil mengatakan “1, 2, 3….” Langsung membekap mulut saksi shafina, lalu YANRI UMBU LALOMILA Als BETA memegang kaki kanan saksi SHAFINA dan IYOS BENEDIKTUS SITORUS memegang kaki kiri, YANRI UMBU LALOMILA Als BETA membukan kancing sleting celana saksi SHAFINA oleh IYOS BENEDIKTUS SITORUS memegang kaki kiri, YANRI UMBU LALOMILA Als BETA memasukkan juga jarinya kedalam lubang vagina saksi SHAFINA, sedangkan ANDRIFA memeluk sambil meraba payudara saksi SHAFINA, setelah itu saksi membuka baju sendiri hingga terlihat bugil langsung menindih SHAFINA tiba-tiba datang PASKAH SAHPUTRA ke dalam kamar dan berkat “Jangan pada berisik nanti tetangga dengar” kemudian saksi SHAFINA berteriak sambil menangis, selanjutnya YANRI UMBU LALOMILA Als BETA, IYOS BENEDIKTUS SITORUS dan saksi keluar kamar lalu menyusul ANDRIFA.
Bahwa atas keterangan saksi diatas tersebut, terdakwa membenarkan

Surat - surat
Berita Acara hasil Visum et Revertum023-03365 Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi nomor 040.04/023-03365690/V/2013/RM tanggal 17 Mei 2013 yang dibuat dan ditandatangani mengingat sumpah jabatan oleh dr. R. PANDJI SETIAWAN , Sp.OG dengan kesimpulan bahwa pada selaput darah (Hymen) Non-itak (tidak utuh) kemungkinan disebabkan oleh trauma benda tumpul.

C.Putusan pengadilan
Sebelum menjatuhkan putusan majelis hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut
         Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan majelis hakim akan membuktikan unsur membujuk artinya melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya ia tidak akan berbuat demikian.
          Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta sebagaimana tersebut diatas majelis Hakim berkeyakinan unsur membujuk anak melakukan pencabula telah terpenuhi.
         Menimbang bahwa oleh karena pemeriksaaan
           Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari pasal 82 UU  Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa dan selama pemeriksaan perkara ini tidak ditemukan adanya alasan pemaaf ataupun alasan pembenar yang dapat mengahapuskan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya, sehingga Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 dan harus dipidana yang setimpal dengan perbuatannya.
      Menimbang, bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak masih didalam kandungan, sedangkan oleh karena unsur-unsur lainnya bersifat alternatif maka apabila salah satu unsur telah terbukti maka yang lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
      Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan Majelis Hakim akan membuktikan unsur membujuk artinya melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui dduduk perkara yang sebenarnya ia tidak akan berbuat demikian.
          Menimbang, bawha berdasarkan keterangan saksi-saksi, terdakwa dan bukti surat yang diajukan dipersidangan setelah Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG kebal dan bertemu dengan saksi korban SHAFINA DHILA terdakwa mengetahui saksi korban SHAFINA DHILA masih sekolah kelas 3 (tiga) SMP dan berumur 14 (empt belas tahun) lahir pada tanggal 23 Sepertember 1998, selanjutnya pada tanggal 27 maret 2013 terdakwa mengajak saksi korban SHAFINA DHILA tidur-tiduran dikamar sambil mendengarkan music MP3 melalui HP selanjutnya terdakwa mulai merayu saksi korban SHAFINA DHILA dengan mengatakan kamu cantik dik, saya ingin memiliki kamu seutuhnya, bolehkah saya meminta keperawananmu, kamu tidak usah takut kalau kamu hamil saya akan bertanggung jawab “akhirnya terdakwa menciumi bibir saksi korban SHAFINA DHILA oleh karena nafsu birahi terdakwa sudah memuncak selanjutnya terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang kedalam kemaluan saksi korban SHAFINA DHILA sambil menggoyang-goyangkan pantatnya naik turun oleh karena terdakwa merasa nikmat akhirnya terdakwa mengeluarkan air maninya diluar kemaluan saksi korban SHAFINA DHILA selaput dara (hymen) tempak luka robek pada arah jam satu luka sampai dasar. Sesuai dengan hasil Visum et Revertum Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi nomor. 040.04/023-03365690/V/2013/RM tanggal 17 mei 2013 yang dibuat dan ditandatangani mengingat sumpah jabatan oleh dr. R PANDJI SETIAWAN, Sp.OG dengan kesimpulan bahwa pada selapur dara (Hymen) Non-Intsk (tidak utuh), kemungkinan disebabkan oleh trauma benda tumpul sebagai luka lama;
        Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara ini Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dapat mengikuti persidangan dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh karena itu terdakwa sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya maka oleh karena itu unsur barangsiapa telah terpenuhi
          Menimbang, bahwa agar pidana yang dijatuhkan dapat memberikan efek jera dan agar terdakwa tidak mengulangi perbuatannya serta mencegah agar orang lain tidak melakukan perbuatan pidana maka ditetapkannya terdaka tetap ditahan.
      Menimbang, barang bukti berupa 1 (satu) stel pakaian seragam SMP, baju putih dan rok biru, maka diperintahkan dikembalikan kepada saksi korban SHAFINA DHILA, sedangkan satu stel bantal busa lapis tisu bash merk majic maka diperintahkan dirampas untuk dimusnahkan.
        Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa majelis hakim akan mempertimbangkan nota pembelaan dari penasehat hukum Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Ala ABANG yang pada pokoknya merasa bersalah, menyesal dan berjanji ntidak akan mengulang perbuatannya oleh karena itu mohon keringanan hukuman, hal tersebut akan dipertimbangkan  sebagain hal yang meringankann hukuman.
             
Hal-hal yang memberatkan
-          Perbuatan terdakwa melanggar norma hukum, agama dan susila
-          Perbuatan terdakwa telah merusak mental dan masa depan saksi korban SHAFINA DHILA
Hal-hal yang meringankan
-          Terdakwa mengaku berterus terang atas perbuatannya
-          Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya
-          Terdakwa belum pernah dihukum

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Tinggi Negeri Bekasi dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengajukan Tuntutan sebagai berikut :
1.      Menyatakan terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Ala ABANG bersalah melakuakan tindak pidana “Perlindungan Anak” sebagaimana yang diatur dan diancam pidana OPasal 82 UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat 1 ke- 1 KUHP
2.      Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PASKAH SAHPUTRA SITEPU Als ABANG berupa penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan, dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) Bulan kurungan ;
3.      Menyatakan barang bukti berupa;
-          1 (satu) stel pakaian seragam SMP, baju putih dan rok biru dikembalikan pada saksi SHAFINA
-          1 (satu) buah bantal busa lapis kaian warna kuning bercorak kembang
-          3 (tiga) bungkus kecil tisu basah bash Merk Majic
Dirampas untuk dimusnahkan
4.      Menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1,000,-(seribu rupiah)

Dalam kasus ini dimana yang menjadi terdakwanya adalah, hakim memutuskan sebagai berikut
1.      Menyatakan Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG bersalah melakukan tindak pidana “Perlindungan Anak”
2.      Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan, dan denda masing-masing sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) Subsidair 2 (dua) Bulan Kurungan.
3.      Menyatakan barang bukti berupa :
-          1 (satu) stel pakaian seragam SMP, baju putih dan rok biru 1 (satu) buah bantal busa lapir kain warna kuning bercorak kembang, 3 (tiga) bungkus kacil tisu bash Merk Magic
4.      Menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah)

Analisa kasus
Atas uraian surat dakwaan tersebut diatas, berikut ini akan dipaparkan penjelasan dalam konteks tindak pidana terhadap anak setelah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahaun 2002 tentang Perlindungan Anak.
a.       Ketentuan umur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 dalam pasal 1 ayat (I) menyatakan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b.      Jenis-jenis tindak pidana kekerasan terhadap anak dibawah umur menurut Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, pasal 13 menyatakan :
(1)   Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.       Diskriminasi
b.      Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c.       Penelantaran.
d.      Kekejaman, kekerasan, penganiayaan
e.       Ketidakadilan
f.       Perlakuan salah lainnya
(2)   Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak dalam bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Dalam perkara Nomor : 737/PID.B/2013/PN.Bks. dengan tindak pidana Pencabulan terhadap anak dibawah umur yang dilakukan oleh anak dibawah umur yaitu terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG dari fakta yuridis penanganan perkara anak dibawah umur atas nama PASKAH SAHPUTRA dilapangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat dianalisis cara penanganannya yaitu penyidik dikepolisian Bekasi tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan hukum khusus yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seharusnya penyidik yang ditunjuk menangani perkara anak dibawah umur yang mempunyai kemampuan tertentu yang berbeda dengan penyidik lainnya, dengan keahlian khusus yang dimiliki akan dapat lebih membuat serangkaian tindakan penyidikan terarah dalam bentuk upaya perlindungan hukum bagi tersangka anak dibawah umur. Dalam proses penahanan dalam kasus tersebut yang dapat dianalisa mengenai jangka waktu penahanan baik pada tingkat penyidik, penuntutan maupun persidangan.
     Dalam proses penahanan yang dilakukan pihak penyidik sudah sesuai dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang dimana penahanan dalam tingkat penyidik hanya boleh selama 20 (dua puluh hari) hari dengan perpanjangan 10 (sepuluh) hari, jadi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari pihak penyidik harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan pada Jaksa Penuntut Umum.
         Terhadap sel penahanan khusus anak yang tidak dimiliki oleh Kepolisian merupakan masalah intern pihak kepolisian dalam memberikan pelayanan hukum dengan fasilitas yang tidak memadai, akan hal ini hendaknya pihak kepolisian dapat lebih mengupayakan disediakannya sel khusus pada anak dibawah umur dilingkungan Rumah Tahanan Kepolisian. Perlakuan pada saat dilakukannya penangkapan, penggledahan, penyitaan, penahanan dan pemeriksaan terhadap anak tidak berbeda jauh dengan orang dewasa. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak dibawah umur penyidik tidak mungkin menciptakan suasana kekeluargaan hanya dengan tidak memakai atribut karena tujuan utama pemeriksaan yaitu menemukan unsur melawan hukumnya dengan menekankan cara teknis tersebut.
    Pada proses hukum diKejaksaan Negeri Bekasi belum ada Jaksa Penuntut Umum anak, dengan tidak adanya Jaksa Penuntut Umum khusus maka tindakan hukum bagi tersangka Anak dibawah umur diperlakukan sama dengan tersangka orang dewasa, Kejaksaan Negeri Bekasi tidak mempunyai sel khusus anak dirumah tahanan Negara, tempat penahanan bagi tersangka anakbiasanya dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu Jakarta Timur.
Dalam pasal 46  Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan tentang wewenang Penuntut Umum untuk melakukan penahanan selama 10 (sepuluh) hari dengan perpanjangan selama 15 (lima belas), jadi selama 25 (dua pulih lima) hari penuntut umum harus melimpahkan perkara anak ke Pengadilan Negeri.
        Pada proses dipemgadilan negeri Bekasi tidak mempunyai hakim khusus anak, penanganan perkara anak dibawah umur dilakukan oleh hakim lain yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri Bekasi mempunyai wewenang penuh untuk menentukan siapa hakim yang khusus menangani perkara anak dibawah umur dengan Penetapannya.
      Dalam proses penahanan selanjutnya hakim juga dapat mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Dalam kasus dengan No. 757/PID.B/2013/PN.Bks hakim telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Perlindungan Anak.
       Dalam undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang pengadilan Anak, wewenang hakim dalam melakukan penahanan adalah 30 (tiga puluh) hari, hal ini diatur dalam pasal 47 Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
         Selama persidangan berlangsung di Pengadilan Negeri Bekasi hampir sebagian telah menerapkan ketentuan hukum acara yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana hakim ditunjuk untuk memimpin perkara anak dibawah umur atas nama tersangka PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG adalah bukan hakim tunggal  melainkan melainkan majelis, padahal menurut ketentuan pasal 11 Undang-undang Pengadilan Anak seharysnya dilakukan oleh hakim supaya dapat diselesaikan dengan lancar, hakim tunggal lebih bertanggung jawab secara pribadi, dan supaya anak tidak menjadi bingung.
        Sidang dibuka oleh hakim dan dinyatakan tertutup untuk umum didahului dengan penyampaian Laporan Penelitian Kemasyarakatan pembacaan surat dakwaan, pembelaan dari tersangka dakwaan, dan pemeriksaan saksi dan alat bukti serta terdakwa, pembacaan tuntutan dan penjatuhan putusan sanski hukuman. Putusan Hakim perkara anak dibawah umur telah secara benar mempertimbangkan hal-hal yang bersesuaian dengan diri tersangka yang dapat dilihat dari isi putusan. Ketentuan ini sudah sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pengadilan Anak.
         Hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tersangka terbukti dengan sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan primer pasal 82 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP. Yang unsur-unsurnya :
1.      Unsur barang siapa
        Unsur barang siapa menunjuk pada objek hukum orang yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Subjek hukum pidana dapat dibedakan menjadi Rechtsperson (badan hukum) dan naturlijk peron (yang perorangan). Syarat untuk dapat dipidananya seseorang sebagai pelaku tindak pidana adalah adanya unsur kesalahan dan pertanggungjawaban. Untuk dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana maka orang tersebut haruslah orang yang sehat jasmani dan rohani, tidak ada alasan pemaaf, pembenar maupun penghapus pidana
         Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan ternyata benar bahwa terdakwa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan tidak ada alasan pembenar, pemaaf maupun penghapusan pidana.
Sehingga unsur barangsiapa terbukti secara sah menurut hukum.
2.      Unsur dengan sengaja
Unsur dengan sengaja diartikan bahwa pencabulan terhadap korban SHAFINA DHILA adalah dikehendaki oleh pelaku (terdakwa) PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG atau termasuk dalam niat sipelaku dan untuk mengetahui niat sipelaku dapat dilihat dari sifat dan cara terdakwa melakukan perbuatan atau btindak pidana dilakukan.
Perbuatan terdakwa mencabuli korban terkandung dengan unsur sengaja akan dilihat pada fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sepeti terurai dibawah ini.
         Berdasarkan fakta-fakta yang terugkap dipersidangan ternyata benar bahwa Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG pada hari selasa tanggal 14 Mei 2013 sekitar jam 18.00 Wib. Bertempat di Rumah kediaman Terdakwa I di Bekasi telah melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur.
            Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban SHAFINA DHILA selaput dara (hymen) terdapat luka robek pada arah jam satu luka dasar, arah jam tiga tidak sampai dasar, dan arah jam 11 sebelas luka tidak sampai dasar sesuai dengan hasil Visum et Revertum Rumah Sakit Umum Daeah Kota Bekasi Nomor 040.04/023-03365690/V/2013/RM TANGGAL 17 Mei 2013 yang dibuat dan ditandatangani mengingat sumpah jabatan oleh dr. R. PANDJI SETIAWAN, Sp.OG dengan kesimpulan bahwa selaput dara (Hymen) Non-Intak (tidak utuh), kemungkinan disebabkan oleh trauma benda tumpul sebagai luka lama.
            Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan secara sadar dan terdakwa mengetahui bahwa pada saat dilakukannya pencabulan Terdakwa mengatakan “Jangan berisik nanti didengan tetangga dan diaduin ke Polisi” apabila teorin ini dihubungkan dengan teori kesengajaan maka jelas Terdakwa PASKAH SAHPUTRA BASKAMI SITEPU Als ABANG menghendaki pencabulan tersebut dan atau setidak-tidaknya mengetahui apabila seseorang dicabuli maka akan menyebabkan kesakitan (sadar akan kepastian)
    Sehingga unsur dengan sengaja terbukti secara sah menurut hukum.
        
















Bab V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diseluruh materi yang diuraikan mengenai permasalahan yang dikemukakan tentang Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak dibawah umur, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.      Korban tindak pidana pencabulan selain mengalami penderitaan fisik juga mengalami penderitaan mental yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana pencabulan tidak singkat untuk bisa memulihkan, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum untuk memberikan keadilan bagi korban.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun revresif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dan perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarganya)  memperoleh perlindungan..
2.      Pembuktian dan Penerapan dalam putusan No. (757/PID.B/2013/PN.BKS) Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipengadilan, maka terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 82  Uu No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak Jo Pasal 55 (1) KUHP


SARAN
1.      Dalam hal Perlindungan Hukum terhadap anak dibawah umur Seharusnya bukan hanya diberikan kepada Korban Pencabulan tetapi juga kepada Terdakwa, Baik korban maupun terdakwa merupakan Anak yang masih dibawah umur menurut Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Pengadilan Anak. Dan penjatuhan pidana perjara terhadap terdakwa Pasal 82 UUPA jo. Pasal 55 (1) KUHP saya rasa sudah memberikan keadilan bagi pihak korban, Tidak Diskrminatif dan tentunya akan memberikan efek jera kepada Pelaku dan Terjalinnya Kepastian Hukum.

2.      Setelah dibuktikan kesalahan Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dan diterapkannya penjatuhan Pidana Penjara selama 4 (empat) tahun sesuai dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dan peraturan perundangan lainnya maka akan memberikan efek jera kepada pelaku mengingat pelaku masih dibawah umur dan masih berhak mendapatkan Perlindungan Hukum.

















DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi, Masalah Pegegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2001)
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademi Prassido, 1993)
J.E Sahetapy, Viktimologi Sampai Bung Rampai, cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987)
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet Pertama, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996)
Sunaryati Hartono, SH., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:2005)
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak
Edward Elgar, Indonesia, Undang-undnag Pornografi, t.l.n No. 4928, ps. 1 ayat (4)
H, Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangakatan di Indonesia
P.A.Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidan Indonesia. (Bandung: Cita Aditya Bakti)
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Romli Atmasasmita, Kapita selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995)
Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, cet 2 (Jakarta: Siunar Grafika, 2004)
Topo Santoso, Seksualiatas Dan Hukum Pidana, (Jakarta : IDN-HILL-CO, 1997)
Meljatno, Asas-asas Hukum Pidana
Eriyantouw Wahid, Keadilan Resroatif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, cet 8, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Soerjono Seokamto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, acara pidana, acara perdata, cet 1. (Jakarta : Visimedia, 2008)
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi


[1] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 56
[2] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademi Prassindo, 1993), hlm. 63
[3] J.E Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 36
[4] Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Pertama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28
[5] Ibid., hlm. 27
[6] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 59
[7] Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: SinarBaru, 1983), hlm. 83
[8] Sunaryati  Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem hukum Nasional hlm 56
[9]Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak hal. 1
[10] Tribowo Hersandy Febriyanto, Indonesia, Undang-undang Kesejahteraan Anak, UU No 4, L.N No. 32 Tahun 1979, T.L.N No. 3143, ps. 1 ayat (2).
[11] Chandra Ningsih, Ratih, Indonesia, Undang-undang Pengadilan Anak, UU No 3, L.N. No. 3 Tahun 1997, T.L.N No. 3668, ps. 1 ayat (1).
[12] Tribowo Hersandy Febriyanto Indonesia, Undang-undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39, L.N. No 165 Tahun 1999, T.L.N. No. 3886, ps. 1 ayat (5).
[13] Soerjarno Soekanto, Indonesia, Undang-undang Perlindungan Anak, UU No 23, L.N No. 109 Tahun 2002, T.L.N. No. 4235 ps. 1 ayat (1).
[14] Edward Elgar, Indonesia, Undang-undang Pornografi, UU No 44, L.N. No. 181Tahun 2009, T.L.N No. 4928, ps. 1 ayat (4).
[15] H, Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia hal 93
[16] P.A.F Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung. : Citra Aditya Bakti,1997) hal, 193
[17] Ibid hal 194.
[18] Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 64
[19] Ibid., hal. 66
[20] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 108
[21] Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, cet 2. (Jakarta : Siunar Grafika, 2004), hal. 50
[22] Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta : IND-HILL-CO, 1997), hal. 67
[23] Ibid hal. 68
[24] Ibid hal 56
[25] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana hal 54
[26] Ibid hal 54
[27] Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Hal 46
[28] Ibid, Hal 48
[29] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cet. 8, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal. 186.
[30] Andi Hamzah, op, cit., hal 57
[31] Ibid. hal 57
[32] Pasal 289 KUHP
[33] Undang-undang Perlindungan Anak. Ps 82
[34] Soerjano Soekamto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, acara pidana, dan perdata, cet 1. (Jakarta : Visimedia, 2008), pasal 13 KUHAP